Most of Your Text is AI/GPT Generated ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh social support terhadap tingkat loneliness pada mahasiswa perantau. Metode penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik analisis regresi linear sederhana. Sebanyak 66 mahasiswa perantau beru sia 18 –21 tahun menjadi responden penelitian, yang dipilih melalui teknik incidental sampling. Instrumen yang digunakan meliputi Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS) dan UCLA Loneliness Scale Version 3. Hasil penelitian menunjukkan ba hwa tingkat social support dan loneliness berada pada kategori sedang. Uji normalitas mengindikasikan data berdistribusi normal, namun uji linearitas menunjukkan hubungan kedua variabel bersifat tidak linear. Hasil uji regresi memperlihatkan bahwa social s upport tidak berpengaruh signifikan terhadap loneliness, dengan nilai signifikansi 0,001 dan R Square sebesar 0 ,183, yang berarti social support hanya mampu menjelaskan 18% variasi loneliness. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tingkat kesepian mahas iswa perantau tidak secara langsung ditentukan oleh dukungan sosial, melainkan dipengaruhi oleh faktor lain seperti kemampuan adaptasi, stres akademik, dan kondisi emosional individu. Kata kunci: social support, loneliness , mahasiswa perantau, dukungan sosial 30.29% AI GPT* ZeroGPT ABSTRACT This study aims to examine the influence of social support on loneliness among migrant university students. The research employed a quantitative approach with simple linear regression analysis. A total of 66 migrant students aged 18 – 21 years participated a s respondents, selected using incidental sampling. The instruments used were the Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS) and the UCLA Loneliness Scale Version 3. The findings reveal that both social support and loneliness levels are cate gorized as moderate. The normality test indicated that the data were normally distributed, while the linearity test showed that the relationship between the variables was non - linear. The regression results demonstrated that social support does not signific antly influence loneliness, with a significance value of 0,001 and an R Square value of 0.183, indicating that social support accounts for only 18% of the variance in loneliness. Therefore, it can be concluded that migrant students’ loneliness is not direc tly determined by social support, but is influenced by other factors such as adaptation ability, academic stress, and emotional conditions. Keywords: social support, loneliness, migrant students, perceived support 8 BAB I METODE PENELITIAN A. Latar Belakang Kesepian atau loneliness sekarang jadi salah satu masalah psikologis yang banyak dialami, terutama oleh remaja dan mahasiswa. Perasaan ini muncul ketika seseorang merasa jauh dari orang lain, kurang punya kedekatan emosional, atau tidak mendapatkan dukungan sosial yang cukup. Menu rut WHO (2023), lebih dari 25% anak muda di dunia mengalami tingkat kesepian yang cukup tinggi setelah pandemi COVID -19. Angka ini jelas bikin khawatir. Kesepian juga bukan hal sepele. Kalau dibiarkan, kondisi ini bisa berkembang jadi masalah psikologis yang lebih berat. Hou dan rekan -rekan (2021) menemukan bahwa kesepian dapat membuat depresi makin parah dan menurunkan kesejahteraan emosional pada remaja di pedesaan Tiongkok selama pandemi. Temuan tersebut menunjukkan bahwa dampak kesepian cukup luas, terutama pada mereka yang kurang mendapatkan dukungan social . Dampaknya pun tidak hanya terasa pada emosi. Loneliness yang berlangsung lama bisa memengaruhi banyak aspek kehidupan. Harvard Health Publishing (2023) melaporkan bahwa kesepian kronis dapat meningkatkan risiko kematian dini hingga 26%. Bahkan dampaknya disebut mirip dengan kebiasaan merokok 15 batang per hari. Selain itu, orang yang sering merasa kesepian biasanya punya daya tahan tubuh yang lebih lemah, tidur kurang nyenyak, dan kadar hormon stres yang lebih tinggi. Chen dan Yang (2022) menunjukkan bahwa anak migran dengan social support rendah lebih sulit beradaptasi dan lebih rentan merasa kesepian. Cipolletta dkk. (2025) juga menemukan bahwa mahasiswa yang merasa kesepian setelah pandemi cenderung lebih mudah mengalami depresi dan kurang puas dengan hidup mereka. Jika kondisi seperti ini tidak diperhatikan, masalah kesehatan mental pada generasi muda bisa makin ber kembang dan jadi lebih serius. Pada mahasiswa, loneliness menjadi hal penting karena berkaitan langsung dengan proses adaptasi, baik secara sosial maupun akademik. Mahasiswa perantau memiliki risiko lebih tinggi karena jarak dengan keluarga dan lingkungan baru yang belum familiar. Gondokusumo dan Soetjiningsih ( 2023) menemukan bahwa dukungan dari teman sebaya berhubungan negatif dengan tingkat kesepian. Hal yang sama disampaikan Tulak dan Sosialita (2023), bahwa social support ikut menurunkan loneliness pada mahasiswa di berbagai kota be sar. Mahasiswa yang kesepian biasanya memiliki motivasi belajar lebih rendah dan cenderung menarik diri dari lingkungan sosial. Jika dibiarkan, kondisi ini bisa berdampak pada kesehatan mental, seperti munculnya kecemasan atau depresi. Karena itu, keberada an social support sangat penting bagi mahasiswa perantau. Secara umum, loneliness adalah kondisi ketika seseorang merasa terpisah atau tidak punya hubungan sosial yang berarti. Hou dkk. (2021) menyebut rasa sepi muncul saat seseorang merasa kurang diperhatikan atau didukung. Chen dan Yang (2022) menambahkan bahwa kesepian terjadi ketik a harapan kita soal hubungan sosial tidak sesuai dengan kenyataan. Cipolletta et al. (2025) melihat kesepian sebagai dampak perubahan cara berinteraksi setelah pandemi, sehingga banyak mahasiswa kehilangan koneksi sosial yang dulu mereka punya. Sementara itu, Gondokusumo dan Soetjiningsih (2023) menegaskan bahwa kesepian bukan soal jumlah teman, tapi soal apakah seseorang merasa didukung secara emosional. Jadi, rasa sepi lebih berkaitan dengan pengalaman batin. Loneliness dapat dilihat dari beberapa indikator. Hou et al. (2021) menyebutkan tanda -tanda seperti perasaan tidak diterima, kurangnya koneksi sosial, dan minimnya dukungan. Chen dan Yang (2022) menambahkan bahwa individu yang kesepian cenderung menarik diri dan lebih sensitif terhadap penolakan. Cipolletta et al. (2025) menjelaskan bahwa kesepian sering diikuti gejala depresi dan turunnya kepuasan hidup. Tulak dan Sosialita (2023) menemukan bahwa mahasiswa rantau sering merasa kosong dan kehilangan semangat. Dengan demikian, loneliness dapat terlihat dari aspek emosi, perilaku, dan cara seseorang menilai dirinya dalam hubungan sosial. Beberapa penelitian menjelaskan kondisi sebaliknya. Hou dkk. (2021) menemukan bahwa individu dengan tingkat loneliness rendah cenderung lebih stabil secara emosional dan punya hubungan sosial yang baik. Chen dan Yang (2022) juga menyebutkan bahwa rendahnya kesepian membuat seseorang lebih mudah berkomunikasi dan membangun relasi. Cipolletta et al. (2025) menemukan bahwa ma hasiswa yang mendapat social support tinggi memiliki kepuasan hidup lebih baik dan tingkat depresi yang lebih rendah. Hal ini sejal an dengan temuan Gondokusumo dan Soetjiningsih (2023) yang menegaskan bahwa dukungan dari lingkungan sekitar dapat membantu mahasiswa rantau beradaptasi. Pentingnya memahami loneliness pada mahasiswa perantau juga disampaikan oleh Tulak dan Sosialita (2023). Mereka menekankan bahwa kondisi ini perlu diperhatikan untuk mendukung proses penyesuaian diri. Cipolletta et al. (2025) juga menyebut bahwa kemampuan mengelola rasa sepi bisa memba ntu menurunkan stres akademik. Hou et al. (2021) menemukan bahwa keseimbangan sosial dapat mengurangi risiko depresi. Selain itu, Chen dan Yang (2022) menyoroti pentingnya ketahanan psikologis sebagai perlindungan dari kesepian. Secara keseluruhan, temuan -temuan ini menegaskan bahwa menjaga loneliness tetap pada level wajar penting bagi kesejahteraan mahasiswa. Pada pilot study yang dilakukan terhadap 35 mahasiswa perantau, ditemukan bahwa 34% responden (12 orang) merasa mendapat social support yang cukup baik. Namun, 28% (10 orang) masih mengalami loneliness , terutama terkait kurangnya kedekatan emosional. Selain itu, 11% responden (4 orang) mengalami homesickness dan 11% lainnya (4 orang) menghadapi academic stress . Ada juga sebagian kecil responden yang mengalami kesulitan adaptasi dan masalah self-esteem . Temuan ini menunjukkan bahwa meskipun beberapa mah asiswa mendapat dukungan sosial yang baik, masalah kesepian tetap menjadi hal yang dominan. Faktor penyebab loneliness cukup beragam. Hou dkk. (2021) menyebutkan bahwa kondisi keluarga dan kesejahteraan psikologis juga berpengaruh. Chen dan Yang (2022) menambahkan bahwa kemampuan sosial dan cara seseorang memandang stres dapat menentukan bagaimana ia menghadapi kesepian. Setelah pandemi, Cipolletta et al. (2025) menemukan bahwa berkurangnya interaksi sosial membuat banyak mahasiswa merasa terisolasi. Gondokusumo dan Soetjiningsih (2023) juga melihat bahwa mahasiswa perantau lebih rentan karena harus beradaptasi dengan buda ya baru. Dengan demikian, loneliness muncul dari kombinasi faktor sosial, psikologis, dan lingkungan. Persentase lain dari pilot study juga menunjukkan bahwa rendahnya social support menjadi faktor paling dominan penyebab loneliness . Sebanyak 34% responden (12 orang) mengalaminya. Sementara 28% (10 orang) merasa kesepian karena kurangnya interaksi sosial. Homesickness dan academic stress masing -masing dialami oleh 11% responden (4 orang). Sisanya, 8% responden (3 orang), mengalami kesulitan adaptasi dan rendahnya self-esteem . Temuan ini memperkuat pandangan bahwa social support memegang peran besar da lam mencegah loneliness pada mahasiswa perantau. Social support sendiri dapat dipahami sebagai perhatian, bantuan, atau empati yang diterima seseorang dari lingkungan sekitarnya (Hou dkk., 2021). Chen dan Yang (2022) menyebutkan bahwa dukungan ini bisa berupa bantuan emosional, informasi, atau bantuan langsung dari ke luarga dan teman. Cipolletta et al. (2025) menegaskan bahwa social support berperan penting dalam melindungi individu dari stres. Hal ini juga didukung oleh Gondokusumo dan Soetjiningsih (2023) yang menyatakan bahwa dukungan moral sangat membantu mahasiswa rantau menjalani kehidupan sehari -hari. Beberapa indikator social support juga dijelaskan dalam penelitian sebelumnya. Hou et al. (2021) mengidentifikasi tiga bentuk utama dukungan: emosional, instrumental, dan informasional. Chen dan Yang (2022) menekankan pentingnya persepsi positif terhadap dukungan ini untuk memperkuat ketahanan psikologis. Cipolletta et al. (2025) juga menunjukkan bahwa mahasiswa dengan dukungan tinggi lebih mudah beradaptasi. Tulak dan Sosialita (2023) menambah bahwa komunikasi terbuka dan suasana emosional yang hangat menjadi ciri social support yang baik. Peran social support dalam menurunkan loneliness juga dibahas oleh Cipolletta et al. (2025), yang menemukan bahwa dukungan sosial mampu mengurangi stres dan kecemasan pada mahasiswa setelah pandemi. Hal ini sejalan dengan Tulak dan Sosialita (2023) yang menyoroti pentingnya dukungan teman sebaya. Gondokusumo dan Soetjiningsih (2023) juga menyebut bahwa dukungan emosional punya pengaruh yang lebih besar dibanding bentuk dukungan lainnya. Chen dan Yang (2022) menambahkan bahwa social support dapat membantu mengurangi loneliness dengan meningkatkan keterampilan sosial. Hou et al. (2021) juga menjelaskan bahwa dukungan sosial bisa menekan gejala depresi, terutama pada individu dengan tingkat kesepian yang sedang. Namun, efeknya cenderung melemah pada mereka yang sudah berada pada tingkat kesepian yang berat, sehingga diperlukan pendekatan lain selain dukungan sosial saja. . Secara umum, banyak penelitian menunjukkan hubungan negatif antara social support dan loneliness . Namun, temuan yang belum sepenuhnya konsisten membuka ruang untuk penelitian baru, terutama terkait konteks budaya dan jenis dukungan yang paling efektif. Sebagian studi sebelumnya juga lebih banyak dilakukan di Tiongkok dan belum banyak memasukkan varia bel lain, seperti stres akademik atau kemampuan adaptasi. Karena itu, penelitian ini penting untuk melihat bagaimana social support berpengaruh terhadap loneliness pada mahasiswa perantau di Indonesia. B. Rumusan Masalah Apakah terdapat pengaruh antara social support dan loneliness pada mahasiswa perantau? C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui pengaruh social support terhadap tingkat loneliness pada mahasiswa perantau. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi pengembangan ilmu psikologi, khususnya dalam bidang psikologi sosial dan psikologi pendidikan. Temuan yang diperoleh dapat memperkuat teori mengenai hubungan antara social support dan tingkat loneliness . Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan menjadi dasar bagi studi lanjutan tentang kesejahteraan psikologis mahasiswa, terutama dalam konteks perantauan dan proses adaptasi sosial. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Mahasiswa Penelitian ini juga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran mahasiswa perantau tentang pentingnya membangun dan menjaga dukungan sosial yang positif, sehingga perasaan kesepian dapat berkurang dan kesejahteraan psikologis mereka ikut meningkat. b. Bagi Peneliti Selanjutnya Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya yang ingin mengkaji faktor psikologis lain yang berkaitan dengan loneliness , seperti self-esteem , stres akademik, dan kemampuan adaptasi sosial. Selain itu, penelitian ini juga dapat menjadi dasar untuk mengembangkan model intervensi sosial yang lebih efektif bagi mahasiswa perantau di lingkungan pendidikan tinggi di Indonesia. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Loneliness Peplau dan Perlman (1979) menyebut bahwa loneliness muncul saat seseorang merasa hubungan sosial yang ia punya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Bukan cuma soal sedikitnya interaksi, tapi juga soal perasaan kosong yang muncul ketika kebutuhan untuk deka t dengan orang lain tidak terpenuhi. Mereka menekankan bahwa kesenjangan antara hubungan yang diinginkan dan yang terjadi sehari -hari menjadi sumber utama rasa sepi. Pemahaman awal ini kemudian banyak dipakai dalam teori -teori psikologi sosial, terutama ya ng membahas bagaimana pikiran dan emosi berperan dalam pengalaman kesepian. Russell (1996) memperluas gambaran tersebut lewat pengembangan UCLA Loneliness Scale Version 3. Ia melihat loneliness sebagai pengalaman subjektif yang tidak menyenangkan, ketika kualitas hubungan sosial terasa kurang dari yang diharapkan. Russell menekank an bahwa kesepian tidak bisa diukur dari banyaknya teman, tetapi dari bagaimana seseorang menilai kedekatan dan kenyamanan hubungan itu. Jadi, dua orang bisa berada dalam situasi sosial yang sama, namun tingkat kesepiannya sangat berbeda karena perbedaan c ara mereka memaknai relasi sosial. Hutten dkk. (2021) memberikan sudut pandang yang lebih luas dengan melihat loneliness sebagai perasaan tertekan yang muncul akibat kurangnya koneksi sosial yang dianggap penting. Mereka menunjukkan bahwa kesepian tidak hanya berdampak pada emosi, tetapi ju ga dapat memengaruhi kondisi fisik, seperti munculnya keluhan tubuh, meningkatnya kecemasan, dan risiko depresi. Mengacu pada Evolutionary Theory of Loneliness, mereka menjelaskan bahwa rasa sepi sebenarnya berfungsi sebagai sinyal agar seseorang kembali m encari hubungan sosial yang lebih hangat. Namun, jika berlangsung lama, rasa sepi justru berubah menjadi pola yang tidak sehat dan mengganggu kesejahteraan sehari -hari. Zahedi dkk. (2022) juga memandang loneliness sebagai kondisi mental yang muncul saat hubungan sosial terasa kurang, baik secara jumlah maupun kualitas. Mereka menyoroti bahwa kesepian tidak hanya berdampak pada emosi, tetapi juga dapat memengaruhi kesehata n fisik, kondisi psikologis, bahkan performa akademik mahasiswa. Dalam penelitian mereka, dukungan dari lingkungan dan social support terlihat berperan besar dalam mengurangi dampak negatif ini. Hal tersebut menegaskan bahwa pengalaman kesepian tidak berdi ri sendiri, tetapi berkaitan dengan lingkungan dan sistem pendukung yang dimiliki seseorang. Wijaya dan Rozi (2024) menambahkan bahwa loneliness merupakan pengalaman emosional yang membuat seseorang merasa tidak memiliki hubungan sosial yang dekat dan berarti. Pada mahasiswa perantau, perasaan ini sering muncul saat mereka harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Kesepian yang dirasakan dapat menghambat proses adaptasi dan membuat mereka lebih rentan terhadap tekanan sosial maupun tuntutan akademik. Temuan mereka juga menunjukkan bahwa semakin rendah social support yang dirasakan, semakin ti nggi kemungkinan munculnya kesepian. Putri dkk. (2025) memperkuat pandangan tersebut dengan menjelaskan bahwa kesepian dapat muncul sebagai rasa hampa karena jauh dari keluarga dan lingkungan lama. Mahasiswa perantau biasanya merasakan hal ini saat belum menemukan dukungan yang bisa mengganti kan kenyamanan dari rumah. Mereka menegaskan bahwa kesepian sangat berkaitan dengan proses transisi hidup dan kebutuhan seseorang untuk merasa diterima. Secara keseluruhan, berbagai definisi ini memang berbeda penekanannya, tetapi mengarah pada hal yang sama: loneliness adalah pengalaman subjektif yang muncul ketika kebutuhan sosial tidak sesuai dengan kenyataan hubungan sehari -hari. Peplau dan Perlman (19 79) serta Russell (1996) banyak membahas sisi kognitif dan emosionalnya. Hutten dkk. (2021) menyoroti dampaknya terhadap kesehatan mental dan fisik. Zahedi dkk. (2022) membawa konteks yang lebih luas seperti lingkungan dan performa akademik. Sementara itu, Wijaya dan Rozi (2024) serta Putri dkk. (2025) memberi fokus khusus pada mahasiswa perantau dan tantangan adaptasi yang mereka hadapi. Pemahaman ini menunjukkan bahwa loneliness adalah pengalaman yang kompleks dan dapat berbeda -beda tergantung situasi serta dukungan sosial yang dimiliki seseorang. B. Aspek -aspek Loneliness Peplau dan Perlman (1979) menjelaskan bahwa loneliness memiliki tiga aspek utama yang menggambarkan bagaimana seseorang merasakan, menilai, dan merespons situasi kesepiannya. Ketiga aspek ini membantu memahami bahwa loneliness bukan hanya soal merasa “sendirian”, tetapi juga menyangkut cara seseorang memikirk an relasi sosialnya dan bagaimana ia bertindak ketika kesepian muncul. Aspek -aspek tersebut meliputi: a. Aspek Afektif (emosional) Aspek emosional menggambarkan perasaan tidak nyaman yang muncul saat seseorang merasa kurang memiliki hubungan sosial yang bermakna. Individu biasanya merasa sedih, hampa, atau cemas karena kebutuhan akan kedekatan emosional tidak terpenuhi. Kondisi ini mu ncul dari ketidaksesuaian antara harapan sosial dan kenyataan yang dialami. b. Aspek Kognitif Aspek kognitif menunjukkan cara individu memandang ketidaksesuaian antara hubungan sosial yang dimiliki dan yang diharapkan. Orang yang merasa kesepian biasanya punya pikiran negatif tentang kemampuan dirinya menjalin relasi, merasa kurang berharga, dan me lihat lingkungan sosial sebagai sesuatu yang kurang mendukung. Pola pikir ini akhirnya memperkuat rasa sepi dan menurunkan motivasi untuk bersosialisasi. c. Aspek Perilaku Aspek perilaku berkaitan dengan kecenderungan individu untuk menarik diri dari interaksi sosial. Orang yang mengalami kesepian biasanya jadi lebih waspada terhadap kemungkinan penolakan dan cenderung pasif dalam pergaulan. Hal ini membuat mereka makin suli t membangun hubungan sosial yang positif. Russell (1996) mengemukakan bahwa aspek loneliness berdasarkan pengembangan UCLA Loneliness Scale Version 3 terdiri dari tiga dimensi utama, yaitu: a. Social Connectedness Mengacu pada sejauh mana individu merasa terhubung dengan orang lain secara emosional dan sosial . Tingkat connectedness yang rendah menimbulkan rasa keterasingan dan ketidakbermaknaan sosial. b. Social Isolation Menggambarkan kondisi ketika seseorang merasa sendirian dan terlepas dari lingkungannya, meskipun berada di tengah banyak orang. Perasaan ini biasanya menimbulkan rasa hampa dan kurang berarti dalam kehidupan sehari -hari. c. Self-perceived Inadequacy of Relationships Berkaitan dengan penilaian negatif terhadap kualitas relasi sosial yang dimiliki, di mana individu merasa hubungan tersebut tidak mendalam dan tidak memenuhi kebutuhan emosionalnya. Putri, Nurhayaty, dan Syah (2025) menjelaskan bahwa kesepian pada mahasiswa perantau dapat dipahami melalui empat aspek utama, yaitu: a. Perasaan Hampa Emosional Mencerminkan kehilangan dukungan dari keluarga dan lingkungan asal yang menyebabkan rasa sedih dan keterpisahan emosional. b. Keterasingan Sosial Muncul saat mahasiswa sulit beradaptasi di lingkungan baru dan merasa tidak menjadi bagian dari komunitas kampus c. Kurangnya Dukungan Emosional Bermakna Menggambarkan tidak adanya figur atau lingkungan yang dapat menjadi tempat aman untuk berbagi perasaan. d. Ketidakmampuan Menjalin Hubungan Dekat Menunjukkan kesulitan mahasiswa dalam membangun koneksi sosial yang hangat dan mendalam di tempat baru. C. Faktor -fakto r yang memengaruhi Loneliness Hutten dkk. (2021) menemukan bahwa social support punya peran penting dalam hubungan antara loneliness dan kesehatan mental. Orang yang merasa didukung secara sosial biasanya menunjukkan kecemasan, depresi, dan keluhan fisik yang lebih rendah. Menariknya, dukungan yang dirasakan (perceived social support) justru lebih berpengaruh daripada dukungan yang diterima secara objektif. Hal ini karena persepsi seseorang tentang ketersediaan dukungan jauh lebih menentukan kondisi emosinya. Temuan ini menegaskan bahwa social support dapat m enjadi buffer yang membantu mengurangi efek negatif loneliness terhadap kesejahteraan psikologis. Wijaya dan Rozi (2024) juga menunjukkan bahwa perceived social support berkaitan dengan rendahnya tingkat loneliness pada mahasiswa perantau. Semakin besar dukungan yang dirasakan dari keluarga, teman, atau significant others, semakin kecil kemungkinan mah asiswa merasa kesepian. Mereka yang punya jaringan sosial yang hangat cenderung lebih mudah beradaptasi dan merasa diterima di lingkungan baru. Artinya, kualitas hubungan sosial lebih berarti dibanding jumlah relasi yang dimiliki. Putri dkk. (2025) menambahkan bahwa dukungan emosional dari pengelola kost juga bisa membantu menurunkan loneliness. Hal -hal sederhana seperti perhatian, empati, atau kesediaan mendengarkan membuat mahasiswa merasa lebih nyaman dan tidak sendirian. Dukunga n semacam ini termasuk informal social support yang bisa membantu proses adaptasi. Temuan Putri dkk. menunjukkan bahwa sumber rasa aman dan keterhubungan tidak selalu datang dari keluarga atau teman sebaya, tetapi juga dari orang -orang yang ada di lingkung an tempat tinggal. Vicary dkk. (2025) menambahkan bahwa loneliness berperan penting dalam menurunkan risiko loneliness dan gangguan kesehatan mental di kalangan mahasiswa dengan kondisi psikologis tertentu. Social support yang responsif, empatik, dan konsisten terbukti mampu mencegah munculnya perasaan terisolasi, depresi, serta stres akademik yang tinggi. Kekurangan akses terhadap dukungan sosial berkorelasi dengan meningkatnya risiko loneliness dan penurunan kesejahteraan emosional. Vicary et al. (2025) menekankan pentingnya lembaga pendidikan menyediakan sistem dukungan sosial formal seperti layanan konseling dan komunitas sebaya untuk membantu mahasiswa dengan kebutuhan psikologis khusus. Seluruh penelitian menunjukkan bahwa social support berpengaruh negatif terhadap loneliness . Peningkatan social support terbukti menurunkan loneliness dengan memperkuat kesejahteraan psikologis individu. Perbedaannya terletak pada sumber dukungan . Hutten dkk. (2021) menyoroti mekanisme umum, Wijaya dan Rozi (2024) menekankan dukungan keluarga, Putri dkk. (2025) menyoroti dukungan pengelola kost, sedangkan Vicary dkk. (2025) fokus pada dukungan bagi mahasiswa dengan masalah psikologis. Secara keselur uhan, social support baik formal maupun informal berperan penting dalam menekan loneliness dan meningkatkan kesejahteraan mental mahasiswa. D. Teori Mengenai Loneliness a. Grand theory Maslow (1943) lewat teori Hierarchy of Needs bilang bahwa manusia punya lima jenis kebutuhan utama. Mulai dari kebutuhan yang paling dasar seperti kebutuhan fisik lalu kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan untuk berhubungan sosial, kebutuhan akan penghargaan diri, sampai ke tahap paling tinggi yaitu aktualisasi diri. Dalam konteks loneliness, kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki menjadi bagian yang sangat penting. Kalau kebutuhan sosial ini tidak terpenuhi, seseorang bisa merasa kosong secara emosional dan makin jauh dari lingkungannya. Dengan kata lain, loneliness dapat muncul ketika individu tidak berhasil memenuhi kebutuhan sosial pada tahap ketiga dalam hierarki Maslow, yaitu kebutuhan akan hubungan yang hangat dan merasa dimiliki. b. Middle range theory Weiss (1973) melalui Attachment Theory of Loneliness menyatakan bahwa loneliness muncul karena kurangnya hubungan emosional yang bermakna dengan orang lain. Ia membedakan dua jenis loneliness , yaitu emotional loneliness yang disebabkan kehilangan kelekatan intim, dan social loneliness yang muncul akibat keterbatasan jaringan sosial. Teori ini termasuk middle range theory karena berfokus pada mekanisme hubungan interpersonal yang memengaruhi kondisi emosional individu. Weiss menegaskan bahwa kualitas hubungan sosia l lebih penting daripada kuantitas dalam menentukan munculnya loneliness . Oleh karena itu, teori ini memberikan dasar yang kuat untuk memahami hubungan antara social support dan pengalaman loneliness (Weiss, 1973). c. Specific theory Peplau dan Perlman (1979) ngenalin Social Psychological Theory of Loneliness , yang intinya bilang kalau seseorang bisa merasa kesepian ketika hubungan sosial yang dia inginkan beda sama kenyataan yang dia punya. Teori ini fokus pada tiga hal: perasaan , sikap , dan hal-hal yang bikin loneliness muncul . Teori ini juga bahas bagaimana orang biasanya menghadapi rasa sepi itu. Model ini termasuk specific theory karena penjelasannya cukup jelas dan bisa langsung dipakai buat penelitian. Dari teori inilah lahir alat ukur seperti UCLA Loneliness Scale (Russell, 1996), yang dipakai buat ngelihat tingkat kesepian seseorang dari sisi psikologis dan sosial. E. Pengertian Social Support Hutten dkk. (2021) menjelaskan bahwa social support punya peran penting dalam menurunkan rasa kesepian, terutama lewat pengaruhnya pada kesehatan mental. Orang yang merasa mendapat dukungan sosial biasanya menunjukkan tingkat depresi, kecemasan, dan stres yang lebih rendah. Efek ini lebih kuat ketika dukungan tersebut benar -benar dirasakan, bukan sekadar ada secara objektif. Alasannya, persepsi individu terhadap kualitas hubungan sosial sering kali lebih menentukan. Temuan ini menegaskan bahwa social suppor t bekerja sebagai “pelindung” psikologis yang membantu menekan dampak negatif loneliness terhadap kesejahteraan emosional (Hutten et al., 2021). Wijaya dan Rozi (2024) menemukan bahwa perceived social support berhubungan negatif dengan tingkat loneliness pada mahasiswa perantau. Artinya, semakin kuat dukungan yang mereka rasakan dari keluarga, teman, maupun orang terdekat, semakin rendah rasa sepinya. Mahasiswa yang punya hubungan sosial yang hangat biasanya lebih mudah beradaptasi dan merasa diterima di lingkungan baru. Temuan ini juga menunjukkan bahwa kualitas dukungan jauh lebih berpengaruh daripada banyaknya jumlah relasi yang dimiliki seseorang. Putri, Nurhayaty, dan Syah (2025) menjelaskan bahwa dukungan emosional dari pengelola kost punya peran besar dalam menurunkan rasa kesepian mahasiswa perantau. Bentuk dukungan seperti empati, perhatian, dan sekadar mau mendengarkan sudah cukup membantu mah asiswa lebih nyaman di lingkungan barunya. Dukungan seperti ini termasuk informal social support karena datang dari orang di sekitar, bukan dari keluarga. Hal ini membuat mahasiswa merasa lebih diterima dan tidak sendirian. Jadi, dukungan sosial ternyata t idak selalu harus dari keluarga atau teman dekat. Kadang, figur seperti pengelola kost pun bisa memberi dampak yang berarti. Hasil dari berbagai penelitian juga menunjukkan pola yang sama. Semakin tinggi social support , semakin rendah tingkat loneliness . Yang penting bukan seberapa banyak orang yang dikenal, tetapi bagaimana seseorang menilai kualitas dukungan yang ia terima. Perbedaannya ada pada fokus sumber dukungannya. Hutten et al. (2021) membahas mekanisme psikologis secara umum, sementara Wijaya d an Rozi (2024) lebih menyoroti peran keluarga dan teman sebaya. Putri dkk. (2025) menambahkan pengelola kost sebagai sumbe r dukungan, dan Vicary et al. (2025) meneliti situasi mahasiswa dengan gangguan psikologis. Secara keseluruhan, semua penelitian ini saling melengkapi dan sama -sama menegaskan bahwa dukungan sosial baik yang formal maupun informal berperan penting dalam me ngurangi rasa kesepian dan membantu mahasiswa lebih kuat secara emosional. F. Aspek -aspek Social Support House (1981) menjelaskan bahwa social support terdiri atas empat aspek utama, yaitu: a. Emotional Support (dukungan emosional) Aspek ini mencakup perhatian, empati, dan kasih sayang yang diberikan oleh orang lain. Dukungan ini membantu individu merasa diterima, dicintai, dan dihargai sebagai bagian dari kelompok sosial. Indikatornya meliputi perasaan dimengerti, mendapatkan penghi buran, serta memiliki seseorang yang mau mendengarkan keluh kesah. Dukungan emosional berperan penting dalam menjaga stabilitas psikologis dan mengurangi rasa stres. b. Instrumental Support (dukungan instrumental) Aspek ini merujuk pada bantuan nyata atau material yang diberikan lingkungan kepada seseorang. Bentuknya bisa berupa uang, waktu, tenaga, atau tindakan langsung untuk membantu menyelesaikan masalah. Indikatornya terlihat dari adanya bantuan praktis saat in dividu menghadapi kesulitan, baik itu terkait ekonomi, akademik, maupun kesehatan. Dukungan seperti ini membantu individu menghadapi tantangan secara lebih konkret. c. Informational Support (dukungan informasional) Aspek ini berkaitan dengan pemberian saran, informasi, atau bimbingan yang membantu individu memahami situasi dan mengambil keputusan. Indikatornya terlihat dari kesediaan orang lain untuk memberi arahan, nasihat, atau panduan yang relevan. Bentuk dukungan ini membantu individu menghadapi stres dan menyesuaikan diri dengan lingkungan secara lebih percaya diri. d. Appraisal Support (dukungan penghargaan) Aspek ini menggambarkan pemberian umpan balik positif, pengakuan, dan validasi terhadap kemampuan individu. Indikatornya berupa rasa dihargai, dipuji, dan diakui atas usaha atau prestasi yang dilakukan. Dukungan ini membantu meningkatkan kepercayaan diri dan harga diri individu. Zimet, Dahlem, Zimet, dan Farley (1988) menjelaskan aspek social support melalui tiga sumber utama dalam Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS), yaitu: a. Family Support (dukungan keluarga) Aspek ini menunjukkan sejauh mana individu merasa mendapatkan dukungan, perhatian, dan penerimaan dari anggota keluarga. Dukungan keluarga menjadi dasar utama pembentukan rasa aman emosional dan kelekatan sosial. b. Friends Support (dukungan teman) Aspek ini menggambarkan dukungan yang datang dari teman sebaya dalam bentuk perhatian, empati, dan kebersamaan. Teman sering menjadi tempat berbagi masalah dan sumber dukungan emosional yang penting, terutama pada masa remaja dan dewasa muda. c. Significant Others Support (dukungan dari orang penting lainnya) Aspek ini mencakup dukungan yang berasal dari pasangan, guru, mentor, atau figur penting lain yang memiliki kedekatan emosional dengan individu. Bentuk dukungan ini memberikan rasa dimengerti, dihargai, dan dicintai oleh pihak yang dianggap signifikan. Hutten, Jongen, Vos, van den Hout, dan van Lankveld (2021) menambahkan bahwa dukungan sosial dapat dibedakan menjadi perceived social support dan received social support . Perceived social support mengacu pada persepsi individu terhadap ketersediaan dukungan yang dapat diandalkan saat dibutuhkan, sedangkan received social support merujuk pada dukungan yang benar -benar diterima secara nyata. Indikator dari aspek ini mencakup persepsi rasa memiliki ( sense of belonging ), kepercayaan bahwa bantuan akan diberikan, dan kenyamanan psikologis yang timbul dari hubungan sosial yang suportif. G. Teori mengenai Social Support a. Grand theory House (1981) lewat Social Support Theory menjelaskan bahwa dukungan sosial adalah bagian penting dari kehidupan seseorang. Dukungan ini bisa berupa bantuan emosional, bantuan langsung, informasi, atau bentuk penghargaan dari orang -orang sekitar. Semua itu membantu seseorang menjaga emosi tetap s tabil, mengurangi stres, dan membangun hubungan yang sehat. House (1981) juga menekankan bahwa interaksi sosial yang positif bisa jadi “penopang” utama saat seseorang menghadapi tekanan hidup. Karena teori ini membahas peran dukungan sosial secara luas dan mendasar, maka teori ini masuk kategori grand theory . b. Middle range theory Sarafino (1998) melalui Stress and Coping Social Support Theory menjelaskan bahwa dukungan sosial berfungsi sebagai sumber bantuan saat seseorang menghadapi tekanan atau masa -masa sulit. Dukungan ini mencakup empat bentuk: emosional, instrumental, informasional, dan penilaian. Hal -hal seperti perhatian, bantuan nyata, nasihat, atau pengakuan positif bisa membuat seseorang lebih kuat dalam menghadapi stres. Sarafino (1988) juga menekankan bahwa bukan hanya dukungan yang diterima, tapi juga dukungan yang dirasakan itu sendiri sangat berpengaruh pada kesehatan mental. Kar ena fokusnya lebih spesifik pada hubungan antara dukungan sosial dan cara seseorang menghadapi stres, teori ini digolongkan sebagai middle range theory . c. Specific theory Zimet d kk. (1988) melalui Perceived Social Support Theory menjelaskan bahwa dukungan sosial sebenarnya tergantung pada bagaimana seseorang merasa didukung oleh orang lain. Jadi yang dinilai bukan hanya dukungannya, tetapi kualitas hubungan dan rasa diterima dari keluarga, teman, dan significant others. Persepsi ini sangat berpengaruh pada kondisi emosional seseorang. Dari teori inilah kemudian disusun instrumen Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS). Karena teori ini menjelaskan dukungan sosial secara lebih terarah dan operasional, maka teori ini termasuk specific theory. H. Kaitan Social Support dengan Loneliness House (1981) dalam Social Support Theory menjelaskan bahwa social support adalah bantuan yang diberikan orang -orang di sekitar, seperti dukungan emosional, bantuan langsung, informasi, atau sekadar penguatan agar seseorang merasa dihargai. Dukungan se perti ini membantu individu merasa lebih tenang dan tetap stabil secara psikologis. Sementara itu, Peplau dan Perlman (1979) melalui Social Psychological Theory of Loneliness menyebutkan bahwa loneliness muncul ketika apa yang seseorang harapkan dari hubun gan sosialnya tidak sesuai dengan kenyataan yang ia jalani. Sarafino (1998) juga menekankan bahwa social support dapat menjadi “pegangan” saat seseorang menghadapi stres atau rasa sepi. Jadi, semakin besar dukungan yang diterima atau dirasakan, semakin kec il kemungkinan seseorang mengalami loneliness. Penjelasan tersebut sejalan dengan Perceived Social Support Theory dari Zimet dkk. (1988), yang menekankan bahwa dukungan dari keluarga, teman, dan orang penting lainnya sangat memengaruhi cara seseorang melihat dirinya di lingkungannya. Saat seseorang mer asa didukung, hubungan sosialnya terasa lebih hangat, sehingga rasa sepi pun berkurang. Secara teori, berbagai pandangan ini menunjukkan bahwa social support bisa menjadi pelindung yang membantu menjaga kenyamanan emosional dan rasa terhubung dengan orang lain. Temuan dari berbagai penelitian juga mendukung hubungan negatif antara social support dan loneliness. Wijaya dan Rozi (2024) menemukan bahwa semakin besar dukungan yang dirasakan mahasiswa perantau, semakin rendah tingkat loneliness mereka. Putri dkk. (202 5) menunjukkan bahwa dukungan emosional dari pengelola kos saja sudah bisa menurunkan perasaan terasing. Hutten dkk. (2021) menyatakan bahwa social support mampu menjadi “penyangga” dari loneliness dan gangguan mental. Zahedi dkk. (2022) juga melaporkan bahwa rendahnya social support berkaitan dengan meningkatnya stres emosional dan rasa sepi. Vicary dkk. (2025) menegaskan bahwa