LAPORAN PENELITIAN KEKERASAN SEKSUAL SIBER DAN PENANGANANNYA DI INDONESIA Support Group and Resource Center on Sexuality Studies 2019 Tim Setya Garuda Remaja Cendekia untuk Indonesia Support Group and Resource Center on Sexuality Studies Ferena Debineva, S.Psi, M.Psi. T- Chairperson Nadya Karima Melati, S.Hum – Program Director Firmansyah Sarbini, S.E - Director of Strategic Partnerships Riska Carolina, S.H, M.H - Director of Advocacy and Policy Roberto, S.H – Translator and Communication Ratih Cahyani Putri, S.Psi – Researcher Zolanski Genta Mansyur – Program Officer 1 Daftar Isi Tim Setya Garuda Remaja Cendekia untuk Indonesia ............................................... 1 Pengantar ........................................................................................................................ 4 Rumusan Masalah ......................................................................................................... 7 Metode Penelitian .......................................................................................................... 8 Jenis Kekerasan Seksual Siber ..................................................................................... 8 1. Hate Speech .................................................................................................................... 9 2. Online Shaming ............................................................................................................ 10 3. Doxing ............................................................................................................................ 10 4. Defamation .................................................................................................................... 11 5. Flaming.......................................................................................................................... 12 6. Deadnaming .................................................................................................................. 13 7. Out-ing ........................................................................................................................... 14 8. Honey Traping .............................................................................................................. 15 9. Impersonating............................................................................................................... 16 10. Morphing ................................................................................................................... 17 11. Revenge Porn ............................................................................................................ 19 Temuan Bentuk KSS dalam Statistik ......................................................................... 19 Usia Korban........................................................................................................................... 20 Domisili Korban .................................................................................................................... 21 Bentuk Konten Revenge Porn ............................................................................................. 22 Pelaku Revenge Porn ........................................................................................................... 23 Pilihan Menempuh Jalur Hukum ....................................................................................... 24 Penanganan Kasus KSS ............................................................................................... 25 Tanggungjawab Pihak Ketiga ..................................................................................... 26 Kajian Perangkat Hukum ............................................................................................ 27 Analisa Tim Peneliti .................................................................................................... 31 Kesimpulan ................................................................................................................... 32 STANDAR OPERASIONAL PELAKSANAAN ............................................................... 36 Kekerasan Seksual Siber ..................................................................................................... 37 2 Konseling Sebaya dan Kelompok Pendukung ................................................................... 37 Pengantar Konseling Sebaya ............................................................................................... 38 Tujuan Konseling Sebaya .................................................................................................... 39 Alur Konseling Sebaya ......................................................................................................... 39 Layanan Konseling Sebaya.................................................................................................. 41 Perangkat dalam Advokasi Masyarakat Sisterhood ......................................................... 41 Sumber Acuan .............................................................................................................. 44 Tentang SGRC UI .......................................................................................................... 48 3 Pengantar Sebagai salah satu pionir organisasi berbasis kampus yang membahas seksualitas dan gender, SGRC menggaris bawahi tingginya kekerasan seksual yang terjadi di balik gedung-gedung tinggi almamater. Sekarang, kekerasan seksual tersebut melewati gedung-gedung tinggi dan muncul melalui gawai masing-masing, bertransformasi lebih cepat. Setelah sebelumnya menerbitkan Modul Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus, SGRC kembali dengan Laporan Penelitian Kekerasan Seksual Siber Penelitian ini hadir untuk merespons banyaknya laporan yang masuk setiap harinya sebagai bukti bahwa kejadian dan ancaman kekerasan mengambil bentuk-bentuk baru di dunia maya. Kekerasan seksual siber memiliki dampak perusakan yang juga tidak sedikit dan tidak sebentar. Penelitian ini bukan penelitian akhir, namun merupakan gambaran awal kasus-kasus lainnya yang tidak terlaporkan. Penelitian ini juga hadir untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran akan kekerasan seksual siber, yang selanjutnya digunakan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual siber dan memberikan dukungan bagi penyintas. Penelitian ini tidak dapat terlaksana tanpa bantuan seluruh narasumber yang terlibat, seluruh sisterhood, serta seluruh individu yang berani melapor. Kami bersama kamu. Terima kasih yang tidak putus dan semangat yang tidak usai untuk kita semua. April 2019 Ferena Debineva 4 Latar Belakang Isu kekerasan seksual yang menjadi isu utama feminism, mendapat tempat dalam wacana utama feminisme Indonesia. Kekerasan seksual belum dibahas dan mempunyai payung hukum yang jelas kecuali pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pun hanya sebatas perkosaan, pencabulan dan UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) 2004 yang terbatas dengan hubungan legal. Padahal, setiap relasi personal rentan terjadi kekerasan seksual. Penyelesaian kasus-kasus kekerasan seksual yang tidak terselesaikan dengan baik oleh pemerintah Indonesia membuat jenis-jenis kekerasan seksual menemukan medium-medium baru. Komnas Perempuan merumuskan 15 jenis kekerasan seksual yang mencakup: (1). Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan, (2). Pelecehan Seksual, (3). Eksploitasi Seksual, (4). Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual, (5). Prostitusi Paksa, (6). Perbudakan Seksual, (7). Pemaksaan perkawinan, termasukcerai gantung, (8). Pemaksaan Kehamilan, (9). Pemaksaan Aborsi, (10). Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, (11). Penyiksaan Seksual, (12). Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, (13). Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, (14). Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama dan (15). Perkosaan. Pada tahun 2018 Komnas Perempuan menekankan kekerasan terhadap permpuan di Dunia Maya yang mencakup kekerasan terhadap Perempuan di Dunia Maya, Penghakiman Digital Bernuansa Seksual, Penyiksaan Seksual M di Cikupa Tangerang, Kasus Persekusi Online dan Offline Dokter F, Situs dan Aplikasi: Prostitusi Online Berkedok Agama di Ayopoligami.com dan Nikahsirri.com, BN: Perempuan dan UU ITE, Lolly Candy: Kerentanan Ekspolitasi Seksual Anak Perempuan di Dunia Maya, Semprotku.com, dan EksploitasiTubuhPerempuan. 5 Sedangkan lembaga Hukum yang melakukan pendampingan terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan dan minoritas gender yakni LBH Apik mengankat tema kekerasan seksual siber dalam laporan tahunan 2018 dan memetakan berbagai platform terjadinya yakni Tinder, Facebook, Instagram, Twitter dan pinjaman online dengan modus berbeda-beda seperti pemerasan, pengambilan data tanpa ijin melalui peretasan dan perekaman diam-diam. Kekerasan seksual siber (selanjutya disebut KSS) adalah bentuk baru dan akibat mandegnya penyelesaian hukum serius terhadap tindakan kekerasan seksual di dunia material dan merembet pada dunia siber. Kekerasan seksual siber adalah sebuah tindakan destruktif menggunakan medium digital yang menyasar seksualitas dan identitas gender dan bertujuan untuk merendahkan, menghancurkan dan menimbulkan kerugian berupa material, psikologis dan sosial. Definisi ini dirumuskan oleh SGRC setelah melihat jenis-jenis tindakan kekerasan dan upaya penyelesaian kasusnya. Medium digital menjadi pembeda jenis kekerasan seksual ini dengan kekerasan seksual lainnya, istilah teknologi informasi seperti anonimitas, syntax dan sistem informasi menjadi kunci penting untuk memahami jenis kekerasan seksual siber. Oleh karen itu penelitian ini kami banyak menggunakan istilah-istilah asing sebelum menemukan terminologi yang mampu mendefinisikan sebuah term secara menyeluruh. SGRC berfokus dalam mengkaji kasus kekerasan seksual siber yang terjadi pada Remaja dan dewasa muda dan dengan identitas gender non-maskulin dan tidak terbatas pada perempuan sebagai kategori biologis saja. Kami memiliki dugaan bahwa kasus kekerasan seksual siber yang menimpa gender non- maskulin meningkat bersamaan dengan semakin meluasnya interaksi melalui internet dan permasalahan penabuan seks. Kekerasan seksual siber juga khusus menyerang seksualitas dan gender yang dijadikan bahan untuk kejahatan 6 kriminalitas lainnya seperti perkosaan, pemerasaan material dan juga kekerasan psikis. Tim peneliti SGRC memberikan perhatian khusus pada kekerasan seksual siber sebab kami bergerak dalam isu seksualitas dan anak muda dan melalui berbagai diskusi dengan anggota kami menemukan berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi pada usia remaja dewasa-muda dan kami mencoba unutk mengelompokan jenis-jenis kekerasan seksual tersebut. Riska Carolina memetakan 11 jenis kekerasan seksual yang terjadi yakni; (1). Doxing, (2). Deflamation, (3). Flaming, (4). Hate Speech, (5). Impersonating, (6). Deadnaming, (7). Out-ing, (8). Online Shaming, (9). Honey Trapping (10. Revenge Porn, dan terakhir (11). Morphing. Dari Berbagai jenis ini kami melakukan pendampingan dan mencoba untuk mengkaji Bagaimana jenis dan modus kekerasan beserta potensi penyelesaiannya yang melibatkan berbagai pihak. Kasus kekerasan seksual siber di Indonesia disebabkan oleh dua hal, penabuan seks dan kosongnya payung hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual. Rumusan Masalah Berdasarkan paparan latar belakang di atas, penelitian ini penting untuk dilakukan untuk mengetahui bagaimanakah kekerasan seksual siber di Indonesia secara umum. Namun, untuk menjawab pertanyaan besar tersebut kami membuat beberapa pertanyaan penelitian yakni: 1. Apa saja kasus-kasus kekerasan seksual siber? 2. Berapa jumlah angka korban kekerasan seksual siber? 3. Bagaimana penyelesaian kasus kekerasan seksual siber? 7 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode campuran yakni kualitatif yang berupa studi literatur kualitatif dan kuantitatif yakni kuisioner pendampingan kasus kekerasan seksual siber oleh SGRC yang disebar pada tanggal 1 Juni - 10 Juni 2018 melalui Google Form dan mendapat responden selama 54 orang. Data tersebut kemudian kami analisa lebih lanjut untuk melihat sebaran dan pola-pola kekerasan seksual siber yang telah dibuat sebelumnya. Jenis Kekerasan Seksual Siber Jenis-jenis kekerasan seksual siber dirumuskan oleh tim peneliti setelah melakukan observasi terhadap kasus-kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke SGRC maupun diberitakan melalui internet. Kami menemukan bentuk-bentuk kekerasan ini mencakup beragam taktik dan perilaku jahat mulai dari berbagi konten yang memalukan atau kejam dengan menyebarkan Hate Speech, Online Shaming, Doxing, Defamation, Flaming, Deadnaming, Out-ing Honey Trapping, Impersonating, Morphing, dan Revenge Porn. KSS seringkali menyasar pada perempuan, anak perempuan dan kelompok minoritas berdasarkan identitas gender dan seksual orientasinya yang didasari bukan lagi pada gender namun lebih pada femininitas atau sifat-sifat feminine dalam diri seseorang. KSS juga mempunyai istilah lain yang popular di internet seperti cybersexism atau cybermisogyny. SGRC secara khusus menggunakan terminologi kekerasan seksual siber (disingkat KSS) yang mencakup seksisme, rasisme, prasangka agama, homofobia, dan transphobia. Berikut kami klasifikasikan bentuk-bentuk kekerasan seksual siber berdasarkan temuan dari organisasi kami: 8 1. Hate Speech Istilah "kebencian" harus dipahami sebagai mencakup semua bentuk ekspresi yang menyebar, menghasut, mempromosikan atau membenarkan kebencian rasial, xenophobia, antisemitisme atau bentuk-bentuk kebencian lain berdasarkan intoleransi, termasuk: intoleransi yang diungkapkan oleh nasionalisme dan etnosentrisme yang agresif, diskriminatif dan permusuhan terhadap kelompok minoritas, migran dan orang-orang yang berasal dari imigran.1 Dalam hukum internasional, terutama yang mencakup kebebasan berekspresi dan berpendapat, ada tiga aspek utama dalam hate speech, adanya niat; adanya hasutan; yang dimaksudkan untuk kekerasan ataupun diskriminasi lainnya.2 Hate speech adalah bentuk ekspresi yang menyerang aspek spesifik dari identitas seseorang, seperti ras, etnis, identitas gender, agama, orientasi seksual, atau disabilitas. 3 Hate speech secara online seringkali mengambil bentuk serangan ad hominem 4 , yang memunculkan perasaan prasangka atas argumen intelektual untuk menghindari diskusi tentang topik yang dihadapi dengan menyerang karakter atau atribut seseorang. Hate speech bisa dilakukan oleh individu/grup yg menyasar identitas kelompok dari seseorang, dapat bercirikan hasutan untuk kekerasan, biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki kuasa (contoh: dia itu kaum A, pantas dibinasakan Biasanya terjadi pada kelompok 1 The Council of Europe Recommendation on Hate Speech, lampiran 2 Kesimpulan dalam makalah Toby Mendel, (Executive Director, Centre for Law and Democracy) Hate Speech Rules Under International Law, untuk aspek yang ketiga adalah statements inciting different proscribed results yang mana artinya dalam tiap konvensi internasional dampak dan hasil yang disasar berbeda-beda. Namun yang menyamakan adalah semua konvensi internasional untuk hate speech berdampak pada diskriminasi dan kekerasan; dikarenakan tiap-tiap judul konvensi sangat spesifik pada isunya, maka unsur hate speech pastilah menyasar pada identitas. 3 Women’s Media Centre, Online Abuse 101, https://onlineharassmentfieldmanual.pen.org/resource-guide-to- combat-online-harassment/defining-online-harassment-a-glossary-of-terms/, diakses 2 April 2019 4 Lihat lebih jauh dalam, Christian Dahlman, Et.Al, Fallacies in Ad Hominem Arguments, (Faculty of Law, Lund University, Lund, Sweden), 2011. Argumen ad hominem adalah argumen yang membuat klaim tentang keandalan seseorang dalam pelaksanaan fungsi tertentu, berdasarkan pada beberapa atribut yang berkaitan dengan orang tersebut. 9 minoritas seksual atau seseorang yang dituduh sebagai bagian dari minoritas gender dan seksual atau berdasarkan agama dan kepercayaannya. Identitas yang dimaksud di sini adalah idenitas yang mencakup hak seseorang yang terlanggar berdasarkan hukum dan HAM internasional. 2. Online Shaming Online shaming bentuknya bisa berupa gambar atau tulisan berupa caption yang dimodifikasi sehingga tersamarkan subjek yang menjadi targetnya dengan tujuan untuk menyadur konten awal menjadi konten olok-olok, hinaan, pencemaran, kabar bohong (hoax), sampai dengan sayembara untuk mengajak melakukan kekerasan seksual terhadap sesorang. Di beberapa penjelasan online shaming dijelaskan sebagai bentuk utama daripada kekerasan seksual siber; doxing, revenge porn, merupakan contohnya. Akan tetapi dalam penelitian ini, online shaming merupakan bagian dari kekerasan seksual siber, karena memiliki perbedaan karakteristik dari doxing dan revenge porn. Perbedaan yang mendasar online shaming dengan doxing maupun revenge porn, adalah pada informasi dari orang yang menjadi target. Jika dalam doxing dan revenge porn ditujukan terutama untuk merusak reputasi seseorang, online shaming, seringkali berupa sindiran, satir bahkan tak jarang tidak menunjukan identitas target sama sekali. Online shaming biasanya diikuti dengan flaming maupun defamation. 3. Doxing Doxing, kadang-kadang dieja 'doxxing,' adalah proses menggunakan Internet untuk meneliti dan mempublikasikan informasi spesifik tentang individu, biasanya disebut personally identifiable informationi (PII) atau Informasi pengenal 10 pribadi.5 Pengambilan dan penerbitan yang tidak sah, seringkali dengan meretas, informasi pribadi seseorang, termasuk, tetapi tidak terbatas pada, nama lengkap, alamat, nomor telepon, email, nama pasangan dan anak-anaknya, perincian keuangan. "Dox" adalah versi slang "dokumen" atau .doc. Doxing menyebabkan ketakutan, stres, dan kepanikan adalah tujuan doxing, bahkan ketika pelaku berpikir atau mengatakan bahwa tujuan mereka adalah "tidak berbahaya." Doxing adalah tindakan kekerasan seksual siber yang dapat menjadi bentuk-bentuk tindakan lainnya, seperti deadnaming, defamation, revenge porn, dan lainnya. 4. Defamation Adanya upaya-upaya yang dilakukan seseorang ataupun sekelompok orang dan terkoordinasi untuk mencemarkan nama baik seseorang di akun pribadi orang yang menjadi target; ataupun dengan akun khusus yang bertujuan untuk memfitnah atau menyebarkan informasi negatif tentang orang yang menjadi target. Disebut juga trolling ataupun call out. Biasanya dilakukan oleh akun-akun khusus yang berpihak pada paham ataupun ideologi tertentu. Unsur utama dari defamation adalah adanya pencantuman nama dan identitas lainnya dari target yang tersasar. Dalam penjelasan Pasal 310 KUHP 6 , menerangkan bahwa, “menghina” adalah “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang diserang ini biasanya merasa “malu” “Kehormatan” yang diserang di sini hanya mengenai kehormatan tentang “nama baik”. Pencemaran nama baik atau defamation dalam 5 Lihat lebih jauh pada, Mat Honan, What Is Doxing?, WIRED (Mar. 6, 2014, 1:03 PM), http://www.wired.com/2014/03/doxing/ [https://perma.cc/62AD-TDYL]; see also RONEY MATHEWS, SHAUN AGHILI, & DALE LINDSKOG, A STUDY OF DOXING, ITS SECURITY IMPLICATIONS AND MITIGATION STRATEGIES FOR ORGANIZATIONS 1 (last visited Nov. 13, 2016), http://infosec.concordia.ab.ca/files/2013/02/Roney_Mathews.pdf [https://perma.cc/KD5J-YUJB]; see generally David M. Douglas, Doxing: A Conceptual Analysis, ETHICS AND INFO. TECH., Sept. 2016, at 199, 200. 6 R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar- Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 225) 11 online lebih tepat dikenakan dengan menggunakan UU ITE pada Pasal 27 Ayat (3) yang berbunyi: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. 5. Flaming Flaming adalah tindakan memposting atau mengirim pesan ofensif melalui Internet; Pesan-pesan ini, yang disebut sebagai flaming dapat diposting dalam forum diskusi online atau grup online, maupun dikirim melalui email atau pesan instan. 7 Pembanjiran pesan tersebut berisikan ujaran yang pedas bernadakan permusuhan yang diikut dengan ancaman, hinaan, cercaan dan pelecehan seksual. Flaming didorong oleh kurangnya interaksi pribadi dan anonimitas yang melekat dari Web, yang mendorong permusuhan, dan terjadi selama diskusi tentang topik- topik sensitif, seperti agama, politik, filsafat, orientasi seksual atau apa pun yang berhubungan dengan subkelompok dan / atau (tampaknya) perbedaan sepele. 8 Alih-alih mempertimbangkan sudut pandang orang lain, "flamers" memaksakan agenda mereka sendiri pada pengguna lain. Beberapa flaming disengaja, beberapa juga tidak. Ini karena pengguna dapat salah memahami maksud pesan atau posting forum pengguna lain. Misalnya, seseorang dapat membuat komentar sarkastik yang tidak dipahami sebagai ungkapan sarkastik oleh pengguna lain, yang mungkin saja bisa tersinggung dengan pesan tersebut. Menggunakan emotikon dan dengan menjelaskan niat seseorang dapat membantu menghindari kesalahpahaman di ranah online. 7 Tech Term, https://techterms.com/definition/flaming, diakses 30 Maret 2019 8 Technopedia, https://www.techopedia.com/definition/5356/flaming, diakses 30 Maret 2019 12 Dikarekankan adanya kemungkinan efek buruk dari flaming, sebaiknya setiap pengguna online chating atau sosial media dengan segala kerendahan hati bersikap sopan ketika memposting atau mengirim pesan secara online. Untuk flaming yang disengaja, dilakukan tidak hanya pada grup tertutup dan chat pribadi, namun juga pesan personal, dan pelakunya bisa jadi tidak hanya satu orang ataupun satu akun. Dalam kasus-kasus tertentu untuk suatu agenda (misalnya bullying), pesan permusuhan ini dilakukan beramai-ramai dengan akun berbeda. 6. Deadnaming Suatu bentuk pelecehan langsung dengan menyebarkan nama lahir seseorang dengan tujuan untuk merugikan orang tersebut. Teknik ini umumnya digunakan untuk LGBTI terutama dengan identitas gender yang non-biner, seperti rekan-rekan transgender. Merujuk seseorang dengan nama mereka yang tidak dikonfirmasi, itu bisa membuat kesan eksistensi individu tersebut tidak valid.9 Ini adalah tindakan merendahkan atau tidak menghormati identitas orang lain. Mengungkapkan nama lahir dari individu LGBTI juga dapat berbahaya, karena berkaitan dengan diskriminasi hingga persekusi. Twitter bahkan sudah menindaklanjuti terkait dengan deadnaming pada platform mereka. Kebijakan Twitter diperbarui dan diberlakukan pada bulan Oktober 2018.10 Kebijakan sebelumnya melarang penghinaan, julukan, rasisme dan seksisme yang terus berulang dan / atau tanpa persetujuan, maupun konten- konten lain yang merendahkan seseorang. Sedangkan kebijakan baru menetapkan segala penyimpangan yang ditargetkan atau bentuk-bentuk kekejaman terhadap 9 KC Clements, Health Line, What Is Deadnaming?, https://www.healthline.com/health/transgender/deadnaming#impact, 30 Maret 2019. 10 Adi Robertson, The Verge, 27 November 2018, https://www.theverge.com/2018/11/27/18113344/twitter-trans- user-hateful-content-misgendering-deadnaming-ban, 30 Maret 2019 13 individu transgender yang dengan sengaja merujuk pada individu transgender menggunakan nama pra-transisi mereka. Kebijakan ini juga berlaku di Indonesia. 7. Out-ing Perilaku outing dilakukan tanpa persetujuan orang yang bersangkutan dan bertujuan untuk mempermalukan seseorang tersebut berdasarkan identitas gender dan seksual orientasi mereka yg berbeda. Berdasarkan hasil berselancar di internet, hingga awal April 2019 ini, tidak ditemukan pengertian outing di dunia maya yang menyasar pihak lain selain orang dengan identitas gender dan orientasi seksual yang berbeda. Outing adalah salah satu jenis pelanggaran privasi di ranah online. Sama halnya dengan deadnaming yang berpusat pada memunculkan kembali nama lahir seseorang untuk seminimal mungkin mempermalukan orang tersebut. Deadnaming lebih berfokus pada identitas gender terutama rekan-rekan transgender, sedangkan outing lebih pada usaha seseorang untuk mempermalukan dengan membocorkan orientasi seksual orang lainnya. Outing menjadi berbahaya karena tidak banyak orang yang bangga bahkan cenderung takut jika diketahui orientasi seksual. Hal tersebut dikarenakan adanya stigma yang salah di masyarakat terkait orientasi seksual. Outing bukanlah hal yang baru, sebelum masuknya era digital seperti sekarang ini, pengungkapan orientasi seksual seseorang dilakukan melalui media cetak. Pada 1950-an, media sektarian di Amerika Serikat muncul, salah satunya tabloid Confidential, yang mana fokus beritanya pada pengungkapan skandal tentang hiburan dan selebriti politik. Di antara tokoh-tokoh politik yang diouting oleh majalah itu adalah mantan Sekretaris Negara Amerika Serikat Sumner Welles dan Arthur H. Vandenberg, Jr., yang secara singkat menjabat sebagai Sekretaris 14 Pengangkatan Presiden Eisenhower. 11 Seorang homoseksual pada tahun itu di Amerika Serikat sangatnya berbahaya yang dikarenakan stigma dapat mempengaruhi karir dan hidup seseorang. risiko keamanan pada saat perang, New York Times menyebutkan bahwa itu adalah bagian dari pola persekusi yang akan menghancurkan ribuan nyawa dan karier karena pada awal tahun 1952, American Psychiatric Association mengklasifikasikan homoseksualitas sebagai semacam kegilaan, dan para senator dari Partai Republik menuduh bahwa homoseksualitas dalam pemerintahan Truman adalah ancaman keamanan nasional.12 Hal yang sama terjadi, hanya saja media yang digunakan tidak lagi cetak, melainkan online melalui platform-platform media sosial, akun-akun anonim yang menjual hoax ataupun media-media online sectarian yang menampilkan fake news. Justru outing saat ini jauh lebih mudah dilakuna dan berbahaya dikarenakan tidak ada peraturan perlindungan data pribadi yang spesifik melindungi identitas gender dan seksual orientasi seseorang. 8. Honey Traping Platform media sosial dan situs web kencan sering disalahgunakan menjadi tindakan kekerasan yang disebut Honey Trapping. Ketika sudah berjanji untuk kencan darat dan bertemu secara offline, yang terjadi malah kekerasan fisik dan sering kali disertai ancaman, pemerasan, bahkan penculikan. Contohnya pada kasus Anak berusia 17 tahun di Malang, Jawa Timur yang dicabuli, setelah pertemanan onlinenya melalui media sosial terungkap oleh orang tua korban. 13 11 The Papers of Dwight David Eisenhower, vol. 18 (Johns Hopkins University Press, 1966), "Document 48: Eisenhower To Nelson Aldrich Rockefeller," February 23, 1957, "Archived copy". Archived from the original on 2007-05-15. Retrieved 2013-08-16., accessed November 14, 2010 12 https://www.nytimes.com/2011/11/27/opinion/sunday/j-edgar-hoover-outed-my-godfather.html 13 Tribun Jambi, 21 Maret 2018, editor: duanto, http://jambi.tribunnews.com/2018/03/21/awalnya-teman-online- kemudian-keduanya-kopi-darat-tapi-pertemuan-berakhir-nyesek-hingga-polisi, diakses 2 April 2019 15 Kasus-kasus semacam itu yang menyasar anak perempuan dan perempuan banyak ditemui di media dan diberitakan. Hal yang luput dari pemberitaan Honey Trapping adalah jika itu terjadi pada kelompok dengan identitas gender dan seksual orientasi yang berbeda. Banyak factor tidak adanya laporan kepolisian maupun pemberitaan media terkait kasus semacam ini, di antaranya adalah ketakutan korban jika identitasnya disebarkan dan di-melela-kan, sebagaimana kasus-kasus penggerebekan sehubungan dengan identitas gender dan seksual orientasi. Kejahatan seksual siber terhadap perempuan saja untuk perlindungannya masih sedang dalam proses perjuangan apalagi untuk perlindungan kelompok minoritas ini. 9. Impersonating Skenario yang biasanya dilakukan dengan menggunakan identitas palsu adalah menggunakan platform media sosial untuk meniru seseorang atau membuat identitas palsu adalah untuk membangun kepercayaan dengan warganet yang menjadi target, yang kemudian dieksploitasi sedemikian rupa. Tujuannya yakni untuk mengumpulkan informasi lebih lanjut untuk serangan phishing, atau secara langsung berinteraksi dengan kenalan target di media sosial untuk mendapatkan informasi yang menarik. Phising sendiri merupakan metode untuk melakukan penipuan dengan mengelabui target dengan maksud untuk mencuri akun target. 14 Akan tetapi yang membedakan phishing dengan impersonating walaupun keduanya adalah untuk mencuri akun dengan pemalsuan akun, impersonating lebih pada pemalsuan akun yang mengatasnamakan seseorang dengan tujuan untuk merusak citra seseorang. 14 Cloud Host, Mengenal Apa itu Phising, Penyebab, dan Mengatasinya, 10 September 2016 https://idcloudhost.com/mengenal-apa-itu-phising-penyebab-dan-mengatasinya/, diakses 1 April 2019 16 Random Dataset mengemukakan dua jenis serangan peniruan dari data yang mereka kumpulkan di Twitter yakni:15 (i) Serangan peniruan selebriti, di mana penyerang meniru selebriti dan pengguna Twitter populer untuk memposting informasi yang tidak dapat dipercaya memfitnah reputasi selebriti atau mengambil keuntungan popularitas offline selebriti untuk meningkatkan visibilitas posting mereka sendiri (misalnya, promosi produk) atau (ii) serangan rekayasa sosial juga dikenal sebagai serangan pencurian identitas, di mana penyerang membuat akun palsu yang mengkloning informasi akun korban dan kemudian menggunakan akun palsu untuk terhubung dan berkomunikasi dengan teman-teman korban. Dalam hukum Indonesia, Pasal 378 KUHP tentang penipuan sebenarnya dirasa cukup tepat untuk menjerat namun unsur tujuannya untuk menghapuskan piutang, sedangkan impersonating tujuannya untuk merusak citra. UU ITE untuk impersonating dapat dikenakan Pasal 35 Jo Pasal 51 Ayat (1), yakni memenuhi unsur melakukan penciptaan Informasi Elektronik; dan dengan tujuan agar Informasi Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik. Namun sampai saat ini belum ada kasus di Indonesia yang sampai diproses kepolisian dan diberitakan media karena korban cenderung melaporkannya pada platform media sosial. Namun, akun palsu biasanya tidak gentar, ditutup satu akan muncul yang lainnya. 10. Morphing Morphing adalah mengedit foto menjadi bernuansa seksual dan bertujuan untuk mengolok-olok perempuan atau seseorang. Edit foto ini bertujuan untuk mempermalukan atau membuat sebuah imaji tertentu yang bersifat seksual dan 15 L. Bilge, T. Strufe, D. Balzarotti, and E. Kirda. All your contacts are belong to us: Automated identity theft attacks on social networks. In WWW’09. Dalam The Doppelgänger Bot Attack: Exploring Identity Impersonation in Online Social Networks, 2015, https://conferences.sigcomm.org/imc/2015/papers/p141.pdf, Hal. 141 17 merugikan seseorang. Morphing di Amerika Serikat pada awalnya dikenakan pada child pornography atau pornografi anak. Hukum Pidana Amerika Serikat Section 2256 (8) (C) pornografi anak16 ”adalah penggambaran visual apa pun, termasuk foto, film, video, gambar, atau komputer atau gambar atau gambar yang dihasilkan komputer, baik yang dibuat atau diproduksi dengan elektronik, mekanis, atau cara lain, dengan perilaku eksplisit seksual, di mana— visual seperti itu penggambaran telah dibuat, diadaptasi, atau dimodifikasi agar tampak bahwa anak di bawah umur yang dapat diidentifikasi terlibat dalam perilaku yang eksplisit secara seksual”. Pada ranah online lambat laun dikenal dengan Morphing. Di beberapa tempat, morphing tidak ekslusif hanya pada perubahan gambar seksual yang mengarah pada pornografi anak, namun di platform media sosial, seperti twitter, ketat hanya pada pornografi anak, padahal di Indonesia sendiri pornografi tidak dibedakan statusnya anak maupun dewasa, apapun identitasnya. Selain itu persoalan terkait dengan morphing, jarang disinggung sehubungan dengan Hak Kekayaan Intelektual dari gambar yang diubah tersebut. Dalam pasal 12 ayat (1) huruf f Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC) dinyatakan bahwa gambar adalah termasuk salah satu ciptaan yang dilindungi dan terikat hak ekslusif dan hak moral sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 Ayat (2) suatu ciptaan tidak boleh diubah walaupun Hak Ciptanya telah diserahkan kepada pihak lain, kecuali dengan persetujuan Pencipta atau dengan persetujuan ahli warisnya dalam hal Pencipta telah meninggal dunia. Maka dari itu gambar tidak dapat dimodifikasi atau diubah tanpa seizin pencipta. 16 Section 2256 (8) (C) dapat dilihat pada Cornell Law School, Legal Information Institutes, 1992, https://www.law.cornell.edu/uscode/text/18/2256, diakses 2 April 2019, child pornography” means any visual depiction, including any photograph, film, video, picture, or computer or computer-generated image or picture, whether made or produced by electronic, mechanical, or other means, of sexually explicit conduct, where— such visual depiction has been created, adapted, or modified to appear that an identifiable minor is engaging in sexually explicit conduct 18 11. Revenge Porn Revenge Porn adalah kasus yang paling banyak dilaporkan kepada SGRC. Ada banyak istilah yang digunakan untuk kasus sejenis revege porn namun kami menggunakan terma ini dengan sengaja. Revenge Porn adalah distribusi gambar grafis seksual tanpa persetujuan subjek gambar. Pelaku memperoleh gambar atau video dalam hubungan sebelumnya, atau meretas komputer, akun media sosial, atau telepon korban. Kasus Revenge Porn adalah yang paling sering dialami remaja dan dewasa muda perempuan. Ketika mantan kekasih diputuskan cintanya kemudian tidak terima dan menyebarkan konten seksual berupa gambar telanjang, video seks dan sebagainya sebagai ancaman. Sejauh ini perempuan tidak memiliki posisi tawar yang cukup tinggi untuk setiap kasusnya. Pelaku penyebaran konten pornografi tersebut sulit untuk dikenakan UU ITE dikarenakan beberapa unsurnya tidak terpenuhi. Selain itu, korban yang melaporkan revenge porn bisa jadi dikenakan Pasal 27 Ayat (3) tentang pencemaran nama baik ataupun jika korban di dalam penyebaran konten pornografi tersebut ditengarai terlihat jelas maka sangat mungkin korban yang akan diproses hukum dengan UU Pornografi. Temuan Bentuk KSS dalam Statistik Kami menyebarkan kuisioner dan penanganan pertama terhadap korban Revenge Porn17 pada tahun 2018 dan memperoleh 54 responden melalui penyebaran Google Form yang dibuka pada tanggal 1 – 10 Juni 2108. Kami membagi pertanyaan berdasarkan rentang usia, domisili korban, bentuk konten, bentuk ancaman, pelaku dan terakhir kesediaan melanjutkan ke jalur hukum. 17 Pada awalnya kami melakukan penyebaran form bertujuan untuk konseling dan penanganan korban Revenge Porn selanjutnya kami temukan lebih banyak bentuk-bentuk KSS dan hal lain yang perlu dikaji. 19 Usia Korban Kami menemukan sebaran usia di mana korban berusia 15 – 20 tahun mendominasi rentang usia lainnya disusul dengan 21 orang berusia 21 – 25 tahun dan 6 orang berusia 26 – 30 tahun. Hal ini disebabkan anak muda lebih banyak melakukan interaksi sosial via digital dan lebih adaptif terhadap teknologi digital. 20 Domisili Korban Berdasarkan domisili, responden datang dari kota yang beragam, responden terbanyak dating dari beragam kota di Jawa Barat (seperti Depok, Bekasi, Bogor, Bandung, Tasikmalaya dan Cirebon) yaitu sebanyak 14 responden. 10 orang responden berasal dari Jakarta (1 orang merupakan mahasiswa yang menghabiskan waktunya antara Jakarta rumahnya dan Jawa Barat kampusnya), 6 orang berasal dari Tangerang (Banten), 7 orang berasal dari berbagai kota di Jawa Timur (seperti Malang dan Surabaya), 6 orang berasal dari berbagai kota di Jawa Tengah (seperti Semarang dan Solo), 2 orang berasal dari Yogyakarta, dan 3 orang dari Makassar (Sulawesi Selatan). Masing-masing satu orang berasal dari Bali, Kupang (Nusa Tenggara Timur) dan Palembang (Sumatera Selatan). Salah satu responden kami juga sedang berdomisili di United Arab Emirates. Domisili 19% 13% 57% 11% Jakarta Bandung Tangerang Lain-lain 21 Bentuk Konten Revenge Porn Bentuk bahan pornografi yang dimiliki oleh pelaku kekerasan seksual siber antara lain adalah foto (pada 31 responden), video (pada 2 responden), foto dan video (pada 17 responden) dan bahan lainnya seperti screen capture pembicaraan dan video call (pada 4 responden. Bentuk konten yang terdiri dari screenshot membuktikan bahwa konten pornografi dibuat tidak berdasarkan konsensual dan perlu dilakukan penyelidikan tentang relasi kuasa ketika konten tersebut dibuat. Bisa jadi, perempuan atau gender non-maskulin lain ketika membuat konten tersebut tidak berdasarkan kesepakatan atau dilakukan dengan paksaan. 22 Pelaku Revenge Porn Pelaku dan relasi dengan penyintas beragam namun didominasi oleh orang dekat. Kebanyakan pelaku adalah mantan pacar dari penyintas (sebanyak 26 responden), dan orang yang berhubungan dengan mantan pacar seperti pacar mantan saat ini (ada pada 2 responden). Pacar penyintas pada saat penelitian juga mungkin menjadi pelaku (ada pada 7 responden), dan juga orang yang berhubungan dengan pacar seperti teman pacar (ada pada 1 responden). Selain pacar dan mantan pacar, teman penyintas pada saat penelitian maupun individu yang pernah menjadi teman penyintas (ada ada 4 responden) dapat juga menjadi pelaku kekerasan seksual siber). Begitu juga dengan orang lain yang berhubungan dengan suami atau orang tua penyintas (ada pada 2 responden). Terakhir, orang asing juga diketahui menjadi pelaku kekerasan seksual siber pada penelitian pendahuluan kami (ada pada 11 responden). Orang asing yang dimaksud dapat berarti individu yang sama sekali tidak dikenali penyintas maupun individu yang hanya secara sekilas dikenali individu (misalnya melalui aplikasi anonimus Secret). 23 Pilihan Menempuh Jalur Hukum Sayangnya, menempuh jalur hukum dalam kasus KSS bukan menjadi pilihan dominasi bagi korban dan penyintas KSS. Hal ini disebabkan oleh dominasi usia muda korban sehingga ia malas berurusan dengan aparat penegak hukum dan ketergantungan dengan keluarga dan institusi Pendidikan sehingga mereka berusaha menutupi kasusnya supaya bisa terus melanjutkan sekolah dan diterima oleh keluarga besar. Hal ini disokong juga dengan aparat penegak hukum (APH) yang tidak punya sensitifitas terhadap kasus seksualitas dan identitas gender seperti pada contoh kasus Honey Trapping di mana APH melakukan penghakiman terhadap seksualitas dan perempuan serta minoritas seksual merasa tidak dilindungi oleh hukum negara. Pada bab selanjutnya membahas mengapa korban enggan melanjutkan kasus Revenge Porn ke jalur hukum. 24 Penanganan Kasus KSS Terjadinya sebuah KSS yang kami temukan biasanya merupakan gabungan dari berbagai bentuk-bentuk KSS lainnya. Dalam sebuah kasus bisa terjadi tiga atau emat bentuk sekaligus kekerasan seksual siber. SGRC mendata setidaknya tiga kasus yang memiliki berbagai bentuk KSS. Kasus pertama adalah kasus Rasta (bukan nama sebenarnya). Rasta mengalami KSS defamation di media sosial (LINE) dan dalam kasusunya terjadi tidak hanya defamation tetapi juga flaming dan morphing. Karena sesuatu hal dirinya menjadi olok-olok di suatu platform sosial media dan segala postingan rasta terutama statusnya di aplikasi LINE, ditangkap layar tanpa seijinny kemudian dimodifikasi seakan-akan tidak menunjukan identitas Rasta. Postingan status yang awalnya merupakan unggahan rasta diposting ulang dan tambahkan caption baru yang mengolok-olok Rasta. Postingan yang sudah tersebar bertujuan untuk mempermalukan dirinya dan menyasar ke seksualitasnya. Seksualitas menjadi sasaran dalam KSS terlihat dalam setiap kasus kasus kedua yang tampak jelas menyerang seksualitas dan identitas gender adalah nasional Deadnaming LL. Identitas gender LL sebagai transgender menjadi sasaran. Kasus deadnaming LL juga menjadi komoditas oleh media sosial, media jurnalistik dan arus utama pun ramai-ramai mengangkat dan mengorek informasi tentang masa lalu LL dengan tujuan untuk mempermalukannya. Sebagai tindakan kekerasan seksual siber, deadnaming tidak dapat berdiri sendiri, di sosial media flaming dan defamation menjadi salah satu tindakan yang mengikuti. Kasus kedua adalah impersonating yang terjadi pada F. Kami menerima kasus impersonating yang bertujuan untuk mempermalukan korban dengan berpura-pura menjadi korban dan mengumbar identitas seksual korban yang tidak benar. Impersenator melakukan tangkapan layar foto-foto korban dan melakukan posting ulang dan diberikan caption baru yang bernada negative dan mengundang 25 teman-teman F (inisial korban) yang ada di media sosial untuk mengomentari caption tersebut. Ketika impersonating ini dilaporkan, akun tersebut menghilang, namun tidak menunggu beberapa lama muncul lagi akun lainnya dengan nama asli F hanya berbeda pada penggunakan titik, garis bawah, atau tanda sambung pada akunnya. Sedangkan kasus terakhir adalah Honey Trapping. Pada Desember 2017, di Jakarta SGRC mendapatkan laporan sehubungan dengan dugaan terjadinya Honey Trapping. Korban adalah laki-laki dan bertemu dengan pasangan kencannya, di suatu hotel, akan tetapi yang terjadi malah pasangan kencannya membawa dua orang lainnya yang beratribut agama tertentu menggerebek mereka dan melakukan kekerasan fisik, verbal dan seksual serta pemerasan. Pada dasarnya kasus seperti ini dapat dilaporkan dengan Pasal 378 KUHP tentang penipuan, akan tetapi jika berkaitan dengan identitas gender dan seksual orientasi, hampir tidak mungkin dapat dilaporkan. Tanggungjawab Pihak Ketiga Dalam temuan kasus SGRC kami menemukan pola yakni pertama serangan adalah pada seksualitas dan identitas seksual dan kedua adalah kepada anak muda. Berdasarkan data kami, tidak semua kasus mau menempuh jalur hukum akibat kerentanan anak muda yang harus bertanggungjawab terhadap orangtuanya, masih berada dalam institusi pendidikan seperti SMA atau Perguruan Tinggi. Sedangkan bila terjadi pada minoritas seksual, hampeir tidak mungkin bisa melapor akibat pelabelan negatif terhadap mereka. Upaya selanjutnya adalah dengan menekan penyedia jasa yakni platform Twitter, Facebook, Instagram dan aplikasi kencan lainnya untuk mendukung keamanan pengguna dari bentuk-bentuk KSS. Sejauh ini Twitter, Instagram dan Facebook 26 memberikan upaya pengaduan untuk KSS bentuk impersonating tetapi tidak bisa membantu menghentikan penyebaran konten. Pada Facebook kita bisa melapor untuk penyebaran konten KSS dan kemudian akan diproses untuk menindaklanjut laporan. Sedangkan pada Twitter untuk kasus impersonating, alur pelaporannya dapat klik report/lapor pada akun diduga meniru, dan kamu bisa memilih : An account is pretending to be me or someone I know (Akun berpura-pura menjadi saya atau seseorang yang saya kenal). Dari sana kamu akan dihadapkan pada pilihan: I am being impersonated (Saya sedang ditiru); Someone I represent is being impersonated (Seseorang yang saya wakili sedang ditiru) ; Someone else (a friend of mine or someone I am a fan of) is being impersonated (Orang lain <teman saya atau seseorang yang saya suka> sedang berpura-pura. Laporan yang sama dapat dilakukan jika impersonating tersebut dilakukan di platform Instagram. Akan tetapi yang membedakan adalah di platform Instagram untuk korban merupakan orang lain tidak serta merta akan langsung diproses akan tetapi akan muncul pemberitahuan yang menyatakan pelapor sebaiknya mengadukannya terlebih dahulu ke orang yang di-impersonating. Untuk kasus KSS Revenge Porn di Twitter kami menemukan beberapa akun yang menjadikan video porno tidak konsensual sebagai komoditas. Akun tersebut bisa untuk dilaporkan ke Twitter namun akun sejenis dengan nama lainnya bisa muncul kembali. Kajian Perangkat Hukum Saat ini perangkat hukum yang digunakan untuk menindak KSS adalah UU ITE 2008 namun kami menemukan UU ITE problematik karena KSS yang menyerang seksualitas dan identitas gender tidak ada jaminan keamanan dan perlindungan korban dalam UU tersebut. Kasus kekerasan seksual siber di Indonesia disebabkan oleh dua hal, penabuan seks dan kosongnya payung hukum 27 untuk melindungi korban kekerasan seksual. Selain itu UU Pornografi juga rentan mengkriminalisasi korban. Kedua, interaksi interaksi digital tidak dilindungi dan diregulasi karena produk hukum terkait teknologi informasi disediakan karena kebutuhan industri yang transaksional. Perkembangan teknologi digital 4.0 yang hanya sebatas keperluan industri, menyebabkan undang-undang yang mengatur interaksi kita terbatas pada pengaturan hukum-rugi transaksi elektronik. Undang Undang nomor 11 tahun 2008 atau UU ITE banyak membahas tentang interaksi yang terbatas pada transaksi elektronik atau pencegahan pornografi dalam ketentuan pidananya. UU ITE tidak melindungi individu-individu dan interaksinya. UU ITE dibuat untuk melindungi bisnis dan transaksi elektronik yang menekankan perlindungan kepada pelaku industri. Oleh sebab itu UU ITE dibuat untuk mengakomodasi bisnis e-commerce di Indonesia sehingga Undang-undang yang mengatur teknologi dan informasi sebatas kepentingan industri. Hal ini membuat kasus-kasus kekerasan seksual siber meningkat dan sulit ditangani. Kami menitik beratkan perangkat hukum yang sudah ada untuk memproses KSS yakni kajian hukum untuk ujaran kebencian dan revenge porn. Pertama untuk kasus ujaran kebencian atau hate speech di Indonesia terdapat dalam beberapa ketentuan antara lain: ada dalam Pasal 156 KUHP, yang mana dikenal dengan pasal penodaan/penistaan agama; Ada pula pada Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45 Ayat (2) UU ITE yang mengkhususkan pada timbulnya kebencian atau permusuhan kepada kelompok tertentu berdasarkan SARA; Pada UU Diskriminasi Pasal 4 Jo Pasal 16 mengkhusukan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis. Ketiga undang-undang ini hanya mengakomodir beberapa identitas kelompok dari serangan hate speech. KUHP hanya sebatas pada agama, belum lagi lex specialist pada ranah online didapuk pada UU ITE. Pelanggaran jika terjadi Hate Speech dalam ranah online lazimnya 28 akan dikenakan UU ITE, penekanan pada SARA menunjukkan bahwa muatannya lebih luas lingkupnya di banding UU Diskriminasi, akan tetapi pengertian “antar- golongan” bias dan tidak seperti hukum internasional pada umumnya yang menekankan pada identitas kelompok minoritas tertentu. Tentunya ada perbedaan antara kriminalisasi dengan pelanggaran HAM berat akan tetapi hal itu tidak menutup bias dari kata antar golongan dalam UU ITE yang dapat juga diartikan golongan profesi tertentu yang maknanya bisa sangat jauh berbeda. Belum adanya peraturan yang memberikan perlindungan kepada pihak- pihak minoritas yang terserang identitas kelompoknya ranah online mengaburkan setiap pengertian yang ada. Dewasa ini masyarakat belum dapat membedakan pencemaran nama baik, hasutan untuk kekerasan, disinformasi dalam bentuk hoax dan fake news, serta ujaran kebencian. Hal ini ditambah dengan pengertian sumir dalam Surat Edaran Kapolri SE/06/X/2015 yang menyamaratakan semua bentuk pernyataan negative sebagai ujaran kebencian, seperti 1. Penghinaan, 2. Pencemaran nama baik, 3. Penistaan, 4. Perbuatan tidak menyenangkan, 5. Memprovokasi, 6. Menghasut, 7. Menyebarkan berita bohong dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial”. Dampak dari hal ini adalah, masyarakat melihat semua pernyataan negative dalam konteks setara dalam tiap kondisi, situasi, pelaku maupun target yang dituju. Revenge porn merupakan kajian yang cukup kompleks karena penyebaran konten tidak konsensual bisa diteknakan daripada pembuatan kontennya. Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) menjamin hak atas kebebasan berekspresi, termasuk untuk “mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan gagasan melalui media apa pun dan tanpa batas.” Pasal 19 (2) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang diadopsi oleh Dewan 29 Jenderal PBB pada tahun 1966, memberikan jaminan untuk kebebasan berekspresi sebagai berikut: “setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi; hak ini harus mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi serta segala jenis gagasan, tanpa memandang batas, baik secara lisan, tertulis ataupun cetak, dalam bentuk forum atau melalui media lain yang menjadi pilihannya”. 18 Perjanjian internasional pertama yang menyoalkan terkait hate speech adalah Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (CERD), yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1965.19 Sedangkan untuk perangkat hukum yang paling memungkinkan untuk menindak pelaku revenge porn adalah dengan Pasal 368 KUHP Ayat (1) yang berbunyi 'Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang. Akan tetapi, hutang yang dimaksud di sini bukanlah dalam bentuk materil melainkan moral sehingga unsur tersebut sulit untuk dipenuhi. LBH Apik menyampaikan bahwa Pasal Pemerasan dalam KUHP memang memungkinkan namun kurang kuat dan harus disandingkan dengan UU ITE karena perbuatan tersebut dilakukan di ranah online. 20 Sedangkan, lagi-lagi UU ITE belum memberikan perlindungan yang kuat terhadap perempuan dan kelompok minoritas berdasarkan sifat femininitasnya. 18 General Assembly Resolution 2200A (XXI), 16 December 1966, entered into force 3 January 1976. Sebanyak 165 negara yang menyetujui dan tambahan 7 tandatangan persetujuan pada 11 February 2010. 19 General Assembly Resolution 2106A(XX), 21 Desember 1965, mulai berlaku sejak 4 January 1969. Sebanyak 173 negara yang menyetujui dan tambahan 6 tandatangan persetujuan pada 11 February 2010. 20 Wawancara dengan Uli Pangaribuan, Koordinator Pelayanan Hukum LBH Apik Jakarta, pada 18 Maret 2019 30 Analisa Tim Peneliti Untuk kasus Revenge Porn sendiri, berdasarkan catatan data SGRC dari tanggal 1 juni - 10 juni 2018 melalui Google formulir dalam waktu 10 hari saja sebanyak 54 aduan yang masuk dalam data SGRC. Jumlah responden terhitung banyak mengingat LBH Apik dalam Catahu 2018 mereka khusus untuk KSS hanya dapat mencatat 42 kasus kekerasan seksual siber. Kami menelaah, usia dari korban yang melapor; kepercayaan korban atas system hukum di Indonesia; bentuk konten pornografi yang menjadi objek KSS; dan dugaan pelaku yang menyebarkan konten revenge porn tersebut. Usia responden kami sebanyak 11,1% berusia 26-30 tahun; 38,9% lainnya berusia 20-25 tahun; dan yang terbanyak adalah usia 15-20 tahun sebanyak 50%. Hal ini membuktikan bahkan kurangnya parental control dan pentingnya pendidikan seksualitas secara konmprehensif, di mana perempuan usia remaja dan muda dewasa, belum memahami konsep tubuh yang privat. Hal ini ditengarai karena jauhnya pemahaman hukum dengan perspektif gender. Selanjutnya dari aduan yang masuk, hanya 14,8% dari responden yang siap untuk melanjutkan kasusnya ke jalur hukum, itupun sebagian dari mereka belum mengetahui resiko yang akan mereka hadapi sehubungan dengan backlash hukum di mana perempuan tidak dipandang sebagai korban bahkan sangat berpotensi untuk dikriminalisasi. Lainnya sebanyak 25,9% responden yakin tidak akan melanjutkan kasusnya ke jalur hukum karena sudah paham atas potensi kriminalisasinya (dalam UU Pornografi atau Pencemaran nama baik dalam UU ITE). Mereka yang dengan yakin menyatakan untuk tidak melaporkan kasusnya ke jalur hukum lebih membutuhkan support group dan rekan untuk berbagi kisah mereka. Terakhir sebanyak 59,3% menyatakan bahwa meraka ragu, untuk melaporkan kasus revenge porn mereka. Keraguan ini dapat dimengerti karena 31 pada saat pendampingan pun, mereka dalam keaadan bingung, takut dan panic akan konsekuensi dari laporan meraka. Seringkali dari mereka bahkan belum memutuskan hubungan mereka yang tidak sehat tersebut. Sehingga, penggalian data ini pun semakin menguatkan bahwa perlunya support group dalam penangan ini. Dalam kasus Revenge Porn, sebanyak 57,4% konten pornografi yang dikirimkan atau menjadi objek kasus adalah berupa foto sensual atau bagian tubuh yang dianggap tabu untuk diperlihatkan di muka umum. Sedangkan 31,5% lainnya merupakan gabungan dari konten pornografi berbentuk foto dan video yang disebarkan melalui platform media sosial. Sisanya berupa, chat sex, capture chat, dan tangkapan layar sensual. Pelaku revenge porn sebanyak 49,1% adalah mantan pacar yang tidak terima hubungan antara korban dan pelaku berakhir. Lainnya sebanyak 13,2% dilakukan oleh pacar korban, hal ini diduga karena bocornya data dari ponsel pintar mereka atau leptop pribadi yang mungkin secara tidak sengaja disebarkan sendiri atau oleh rekan pelaku. Selanjutnya 13,2% lainnya korban tidak tau siapa yang menyebarkan konten mereka tersebut. Kami menduga bahwa korban cukup mengetahui siapa sebeneranya yang menyebarkan konten itu, namun tidak berani mengatakannya. Hal ini diduga karena pelaku adalah orang terdekat dari korban, baik itu pacar atau teman mereka sendiri. Kesimpulan Penelitian ini membuktikan bahwa terdapat empat permasalahan yang menjadi kesimpulan tentative kami yaitu: Pertama, belum banyak pendefinisian terkait dengan kekerasan seksual siber maupun jenis-jenisnya. Dengan tidak banyaknya pendefinisian maka kurang 32 pula pemahaman masyarakat terkait hal ini. Jika pun ada pendefinisian, namun tidak pernah disebutkan dalam pengertian yang ajeg dan tunggal, utuh dan komprehensif. SGRC UI mencoba untuk memberikan pengertian dengan merangkum definisi-definisi yang ada dan menganalisa contoh-contohnya. Berdasarkan penelitian SGRC, didefinisikan 11 jenis kekerasan seksual yang terjadi yakni; (1). Doxing, (2). Deflamation, (3). Flaming, (4). Hate Speech, (5). Impersonating, (6). Deadnaming, (7). Out-ing, (8). Online Shaming, (9). Honey Trapping (10. Revenge Porn, dan terakhir (11). Morphing. Harapannya adalah dengan adanya pengertian, masyarakat akan mulai memahami kasus yang mereka hadapi serta lebih memudahkan juga mencari support group agar mendapatkan penyelesaian yang tepat ataupun teman senasib untuk saling menguatkan satu dengan yang lain. Kedua, dikarenakan persoalan terkait dengan KSS hanyalah dilihat sebagai masalah yang ada sehari-hari dalam dunia maya, KSS hanya dipahami sebagai resiko berinteraksi online. Kemutahiran teknologi seringkali tidak diimbangi dengan kesadaran masyarakat bahwa ada hal yang salah, yakni KSS yang berkerak menahun sehingga dianggap hal yang sudah lumrah. Contohnya seorang perempuan mengirimkan foto dirinya topless karena diminta oleh pacar, lalu disebarkan ke media sosial. Adapun contoh lainnya, perbedaan pendapat di media sosial atas suatu pandangan ideologi tertentu memicu serangan komentar dari pihak-pihak yang tidak dikenal. Hal-hal tersebut dianggap wajar, sebagai “dinamika” bersosial media. Hal ini bisa jadi disebabkan karena sedari awal kekerasan seksual offline sendiri di Indonesia khususnya, tidak diamini sebagai suatu epidemic. Selain itu masyarakat kita masih gagap untuk memahami literasi digital; memahami term & condition sebelum klik centang, setuju pada platform media sosial. Kedua faktor tersebut menimbulkan gabungan masyarakat yang rentan atas pemahaman literasi di dunia digital saat ini dan masyarakat patriarki yang menempatkan perempuan ataupun femininitas sebagai objek. 33 Ketiga, tidak adanya perlindungan hukum untuk KSS. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Belum ada peraturan di Indonesia yang secara spesifik mengatur tentang KSS bahkan perlindungan kekerasan seksual secara offline sedang mandek pembahasannya dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Peraturan-peraturan di Indonesia jika dikaitkan dengan KSS hanya memenuhi satu atau dua unsur saja dan tentunya tidak ramah terhadap orang dengan identitas gender dan seksual orientasi yang berbeda. Gender sendiri adalah suatu konsep yang belum banyak diakui sebagai konstruksi sosial di mana pembangian fungsi antara laki-laki dan perempuan yang timpang. Belum selesai dengan terma itu, globalisasi dan internet membuka ruang pengetahuan baru yang menyasar femininitas. Tidak selesainya keilmuan terkait dengan gender dipahami secara luas membuat perlindungan KSS berdasarkan femininitasnya pun tersendat. Keempat, dan terakhir adalah persoalan mengenai tanggung jawab intermediaries atau yang lebih dikenal dengan platform media sosial, aplikasi percakapan (chatting), dan mesin pencari. Intermediaries besar saat ini sebut saja, Google untuk mesin pencari; Whatsapp, Line untuk aplikasi pecakapan; dan media sosial seperti Facebook, Instagram dan Twitter. Bahkan tak jarang aplikasi- aplikasi tersebut merupakan aplikasi over the top atau aplikasi yang memberikan layanan tidak hanya percakapan atau komunikasi namun juga platform media sosial, live streaming dan lain sebagainya sehingga tidak dapat diklasifikasikan sebagai satu atau dua buah fungsi. Seharusnya aplikasi-aplikasi platform ini juga bertanggung jawab dari banyak dan meluaskan KSS di ranah online. Di Jerman misalnya, Facebook dimintai pertanggung jawaban oleh negara untuk data yang mereka kumpulkan. Ataupun di Cina, Facebook bahkan diblok dan dilarang beroperasi. Di Indonesia, hal yang sama pernah terjadi terkait dengan aplikasi Telegram, dengan Kemkominfo memblokir DNS dari Telegram dengan alasan banyaknya propaganda, radikalisme, terorisme. Jika negara memiliki posisi 34 tawar yang tinggi untuk memutus rantai jaringan platform tersebut, seharusnya Indonesia dapat menindaktegas KSS dengan memintakan pertanggung jawaban intermediaries. 35 49
Enter the password to open this PDF file:
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-