Kehancuran Ekonomi Akibat E-commerce Tidak Menjaga Rantai Distribusi Banyak orang yang kebingungan atas apa penyebab dari keruntuhan ekonomi yang begitu dahsyat di hari ini. Daya beli runtuh, terjadi PHK di mana-mana, pengangguran di mana-mana, dan sulit sekali mencari pekerjaan. Ada yang sebut bahwa penyebabnya adalah judi online (judol), utang negara yang overdosis, inflasi pangan, korupsi, tapi hampir tidak ada yang sebut bahwa penyebabnya adalah E-commerce. E-commerce merupakan faktor terbesar atas keruntuhan ekonomi di hari ini, karena E-commerce mematikan eksistensi rantai distribusi (akibat ketiadaan regulasi di E-commerce, terutama regulasi soal harga jual, sehingga harga jual di E-commerce bisa dibanting serendah-rendahnya melalui perang harga antar seller & banjir promo diskon oleh aplikasi, di mana harga jual yang terlalu rendah tersebut akan otomatis memutus eksistensi rantai distribusi), padahal eksistensi rantai distribusi sangat dibutuhkan demi menyediakan lapangan kerja bagi mayoritas masyarakat. Rantai distribusi merupakan fondasi ekonomi Indonesia. Hampir semua pekerjaan yang ada di masyarakat berasal dari eksistensi rantai distribusi. Toko-toko di sekitar kita, pasar-pasar, tenant-tenant di dalam mall, pedagang- pedagang keliling, perusahaan-perusahaan distribusi di level grosir dengan berbagai tingkatan (grosir besar - grosir sedang - grosir kecil), mereka semua adalah bagian dari eksistensi rantai distribusi. Tanpa adanya rantai distribusi, maka tidak akan ada lapangan kerja di masyarakat, sebab di dunia hanya ada 2 jenis profesi : produsen (barang-jasa) & rantai distribusi. Apabila profesi di rantai distribusi mau dihilangkan dengan alasan ikut kemajuan jaman, maka profesi yang tersisa tinggal produsen saja. Lalu pertanyaannya : Apakah 280 juta masyarakat Indonesia mampu beralih menjadi produsen semuanya ? Jawabannya mustahil, sebab hanya sebagian kecil dari 280 juta masyarakat yang mampu menjadi produsen, sementara sisanya bergerak di rantai distribusi. Oleh karena itu, eksistensi rantai distribusi perlu dijaga meski di kondisi kemajuan jaman apapun, supaya bisa menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat. Selama ini, tidak ada satu pun ekonom yang berbicara soal pentingnya menjaga eksistensi rantai distribusi. Semuanya hanya berbicara soal produsen, tapi abai soal rantai distribusi, padahal rantai distribusi punya peranan yang sangat krusial di dunia ekonomi, karena rantai distribusi berperan sebagai amplifier/pengembang dalam menciptakan lapangan kerja di dunia ekonomi (menciptakan lapangan kerja secara beribu-ribu kali lipat dibanding produsen, melalui adanya tatanan antar daerah & tatanan antar level yang terdapat pada rantai distribusi). Matinya rantai distribusi berarti runtuhnya fondasi ekonomi Indonesia, dan ketika fondasi ekonomi sudah runtuh maka ikut meruntuhkan keseluruhan bangunan ekonomi yang berdiri di atasnya. Inilah yang menjelaskan secara logis mengapa ekonomi negara menjadi runtuh dengan begitu dahsyat di hari ini (daya beli sangat lemah, PHK di mana-mana, pengangguran di mana-mana, sulit mencari kerja). Sedari jaman dulu, Indonesia sudah punya masalah klasik utang negara yang overdosis & korupsi, tapi ekonominya mampu bertahan melewati badai karena fondasi ekonomi (eksistensi rantai distribusi) masih terjaga. Namun berbeda dengan di jaman sekarang, di mana fondasi ekonomi (eksistensi rantai distribusi) runtuh akibat E- commerce, maka mustahil bagi ekonomi Indonesia untuk bisa bangkit melewati badai. Ekonomi Indonesia hanya bisa bangkit kembali kalau fondasi ekonomi (eksistensi rantai distribusi) dipulihkan, tidak ada jalan lain selain ini. Untuk itu, pemerintah butuh Meregulasi E-commerce supaya E-commerce mampu berjalan dengan menghargai eksistensi rantai distribusi. 1. Mengenali rantai distribusi. Rantai distribusi berasal dari adanya price-tier (struktur harga jual terendah yang bertingkat berdasarkan kuantitas), dengan pola : produsen > grosir besar > grosir sedang > grosir kecil > eceran > konsumen , di mana juga perlu memperhitungkan price-tier yang berbeda untuk setiap daerah karena adanya biaya transportasi grosiran dari daerah produksi ke daerah penjualan. Contoh price-tier : Dari contoh price-tier & ilustrasi gambar ini, dapat dilihat bahwa rantai distribusi berperan sebagai amplifier/pengembang dalam menciptakan lapangan kerja di dunia ekonomi, melalui adanya tatanan antar daerah & tatanan antar level yang terdapat pada rantai distribusi. Panjang dari rantai distribusi perlu diperhatikan, supaya fungsi amplifier pada rantai distribusi dapat berjalan. Panjang dari rantai distribusi perlu : - tidak terlalu pendek sehingga menghilangkan fungsi amplifier pada rantai distribusi, - tidak terlalu panjang sehingga meninggikan harga yang membebani konsumen, - tapi perlu moderat (tengah), supaya fungsi amplifier pada rantai distribusi dapat berjalan & sekaligus menjaga keterjangkauan harga agar tidak membebani konsumen. Idealnya, panjang dari rantai distribusi yang moderat adalah 5 rantai distribusi, yaitu : produsen > 1. grosir besar > 2. grosir sedang > 3. grosir kecil > 4. eceran > 5. konsumen. Alur dari rantai distribusi (alur dari daerah produksi ke daerah penjualan & alur dari level teratas rantai distribusi ke level terbawah rantai distribusi) perlu dijaga runtutannya secara ketat, supaya melalui alur yang runtut tersebut maka semua pedagang-pedagang yang berada di dalam rantai distribusi bisa mendapat jatah belanja & membuat kualitas pemerataan distribusi uang menjadi lebih baik. Selain itu, juga perlu dibedakan antara rantai distribusi untuk kebutuhan produksi (production-chain) & kebutuhan konsumsi (consumption-chain) : a. Production-chain (rantai distribusi untuk kebutuhan produksi). - Production-chain butuh efisien (sebaiknya melewati sedikit rantai distribusi), supaya bisa menghasilkan produk dengan harga kompetitif. - Production-chain berada pada rantai distribusi di level produsen (pabrik/importir) & pedagang grosir (grosir besar - grosir sedang - grosir kecil), di mana level pedagang grosir punya fungsi ganda sebagai reseller untuk distribution-chain di level berikutnya atau sebagai production-chain. b. Consumption-chain (rantai distribusi untuk kebutuhan konsumsi). - Consumption-chain tidak butuh efisien (bisa melewati banyak rantai distribusi), supaya menciptakan lapangan kerja. Tidak masalah harga menjadi agak mahal di sisi konsumen namun terkompensasi di sisi lain dengan penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat. - Consumption-chain berada pada rantai distribusi di level pedagang grosir kecil & pedagang eceran. 2. Menyadari pentingnya peranan rantai distribusi di dunia ekonomi. 2.1. Profesi di rantai distribusi butuh dipertahankan demi menyediakan lapangan kerja yang affordable/terjangkau bagi masyarakat umum. Di dunia ini, secara umum hanya ada 2 jenis profesi : produsen (barang-jasa) & rantai distribusi. Andai profesi di rantai distribusi mau dihilangkan dengan alasan ikut kemajuan jaman, maka berarti profesi yang tersisa tinggal produsen saja. Lalu pertanyaannya : Apakah 280 juta masyarakat Indonesia mampu beralih menjadi produsen semuanya ? Jawabannya mustahil, karena hanya sebagian kecil dari 280 juta masyarakat yang mampu menjadi produsen, sementara sisanya bergerak di rantai distribusi. Profesi di rantai distribusi juga punya sifat affordable/terjangkau bagi semua kalangan masyarakat, karena tidak butuh modal uang & ilmu untuk berproduksi, tapi cukup mengandalkan perpindahan barang dari tangan ke tangan. Hal ini menjadikan profesi di rantai distribusi bisa dijalani oleh semua kalangan masyarakat, termasuk oleh kalangan masyarakat menengah-bawah (yang tidak punya modal uang & ilmu untuk berproduksi). Oleh karena itu, profesi di rantai distribusi butuh dipertahankan & tidak boleh dihilangkan meski di kondisi kemajuan jaman apapun, demi menyediakan banyak lapangan kerja yang bersifat affordable/terjangkau bagi masyarakat umum. 2.2. Para ekonom memiliki pandangan yang keliru atas penciptaan lapangan kerja, karena yang berkontribusi secara signifikan dalam menciptakan lapangan kerja adalah rantai distribusi, bukan produsen. Selama ini, terjadi kekeliruan pandangan ekonomi bahwa produsen berkontribusi secara signifikan dalam menciptakan lapangan kerja, padahal di dalam realitas ekonomi, yang sebenarnya berkontribusi secara signifikan dalam menciptakan lapangan kerja adalah rantai distribusi, bukan produsen. Akibat kekeliruan pandangan ekonomi ini, para ekonom selalu hanya memperhatikan soal produsen tapi abai soal rantai distribusi, dan ini sangat merugikan bagi proses diagnosa permasalahan di dunia ekonomi karena menghasilkan output diagnosa ekonomi yang keliru dengan fakta lapangan di ekonomi masyarakat. Bisa dilihat pada gambar ilustrasi di atas, di mana produsen hanya berjumlah 1, sedangkan rantai distribusi berjumlah beribu-ribu kali lipat dibanding produsen (melalui adanya tatanan antar daerah & tatanan antar level yang terdapat pada rantai distribusi). Jadi sebenarnya kontribusi produsen di dunia ekonomi sangat kecil, karena yang berkontribusi sangat besar di dunia ekonomi adalah rantai distribusi, bukan produsen. Produsen memang menciptakan lapangan kerja, tapi tidak semasif penciptaan lapangan kerja yang dihasilkan oleh rantai distribusi. Buktinya, sedari jaman dulu Indonesia sudah rapuh pada industri dalam negeri (minim industri dalam negeri & banjir impor), namun mayoritas masyarakat masih punya lapangan kerja karena rantai distribusi masih terjaga. Berbeda dengan di jaman sekarang, di mana meski tercipta banyak industri dalam negeri namun karena rantai distribusinya rusak akibat E-commerce, maka banyak masyarakat kehilangan lapangan kerja & menyebabkan ekonomi negara menjadi runtuh. Peranan rantai distribusi sangat krusial di dunia ekonomi, karena rantai distribusi berperan sebagai amplifier/pengembang dalam menciptakan lapangan kerja di dunia ekonomi. Rantai distribusi bisa diibaratkan Speaker-TOA. Kalau kita bicara tanpa Speaker-TOA, maka suara kita akan kecil, namun kalau kita bicara dengan Speaker-TOA, maka suara kita akan diperbesar hingga puluhan kali lipat. Demikian juga dengan peranan rantai distribusi di dunia ekonomi, bukan sekedar sebagai middle-man yang menambah in-efisiensi, tapi lebih sebagai amplifier yang mengembangkan lapangan kerja secara beribu-ribu kali lipat, melalui adanya tatanan antar daerah & tatanan antar level yang terdapat pada rantai distribusi. Sehingga adanya rantai distribusi di dunia ekonomi tidak dipandang sebagai kerugian tapi sebagai keuntungan, karena keuntungan (penciptaan lapangan kerja) yang dihasilkan oleh adanya rantai distribusi di dunia ekonomi jauh lebih besar beribu-ribu kali lipat dibanding kerugiannya (in-efisiensi). Ibarat rugi 1 tapi untung 1.000. Itulah mengapa ada larangan pemerintah bagi produsen berskala besar-menengah untuk menjual langsung ke konsumen (larangan direct-selling : PP 29/2021), tapi perlu melalui perantaraan rantai distribusi, supaya punya efek pengganda terhadap penciptaan lapangan kerja di dunia ekonomi (employment-multiplier). Data BPS Agustus 2024 menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja nasional (labour-intensive) di sektor perdagangan (atau sektor rantai distribusi) menduduki peringkat kedua (19%), selain sektor pertanian di peringkat pertama (30%) & sektor manufaktur (atau sektor produsen) di peringkat ketiga (13%). Belum lagi ditambah sektor- sektor lain yang tercipta dari adanya sektor perdagangan, misalnya sektor transportasi & pergudangan (5.5%), akomodasi & makan-minum (3.5%), & hiburan (1%). Yang kalau diakumulasi akan diperoleh angka 29% tenaga kerja nasional, dan ini hanya angka resmi di BPS yang kemungkinan angkanya bisa lebih besar lagi di realitas lapangan (misalnya BPS luput dalam mencatat entitas : pedagang keliling, pedagang kaki lima, pedagang kanvas daerah yang berjualan ke pelosok desa-desa, toko-toko informal di perumahan kota & pelosok desa-desa). Anggaplah sektor perdagangan berkontribusi di kisaran angka 25% atau 1/4 dari total tenaga kerja nasional, angka ini cukup signifikan berpengaruh terhadap perekonomian nasional, sehingga pemerintah butuh memperhatikan sektor perdagangan (atau sektor rantai distribusi) & kesehatan persaingan usaha di dalamnya. Pada tanggal 25 November 2025, Pulau Sumatera mengalami bencana alam (banjir bandang & longsor) akibat hutannya digunduli, sehingga lingkungan alam kehilangan fungsi penyerapan air hujan, perlambatan/perhalusan aliran air ke permukiman warga, & menahan tanah dari longsor. Hal yang sama juga berlaku di dunia ekonomi, di mana dunia ekonomi juga memiliki ‘hutan’ yang berfungsi menopang fondasi (stabilitas) ekonomi masyarakat melalui menyediakan berjuta-juta lapangan kerja bagi masyarakat, dan ‘hutan di dunia ekonomi’ tersebut adalah rantai distribusi. Ketika ‘hutan di dunia ekonomi’ (rantai distribusi) digunduli (dihilangkan) dengan alasan ikut kemajuan jaman, maka hasilnya adalah dunia ekonomi kehilangan sumber penyedia lapangan kerja & penyangga fondasi (stabilitas) ekonomi masyarakat, sehingga menyebabkan bencana ekonomi di masyarakat. Oleh karena itu, kita tidak boleh meremehkan peranan rantai distribusi di dunia ekonomi & mau menghilangkannya dengan alasan ikut kemajuan jaman, karena dari rantai distribusi itulah yang berfungsi sebagai ‘hutan’ yang menopang fondasi (stabilitas) dunia ekonomi melalui menyediakan berjuta-juta lapangan kerja bagi masyarakat. Menghilangkan rantai distribusi di dunia ekonomi berarti ikut menghilangkan sumber penyedia lapangan kerja & merusak penyangga dari fondasi (stabilitas) ekonomi masyarakat, yang akhirnya menyebabkan bencana ekonomi di masyarakat, sebagaimana bencana alam yang terjadi di Pulau Sumatera akibat hutannya digunduli. 2.3. Perlu dibedakan antara production-chain & consumption-chain. Juga perlu dibedakan antara rantai distribusi untuk kebutuhan produksi (production-chain) & kebutuhan konsumsi (consumption-chain). Yang butuh efisien adalah production-chain, bukan consumption-chain. Production-chain butuh efisien (perlu melewati sedikit rantai distribusi) supaya menghasilkan produk dengan harga kompetitif, sedang consumption-chain tidak butuh efisien (boleh melewati banyak rantai distribusi) supaya bisa punya efek amplifier yang baik sehingga mampu menciptakan banyak lapangan kerja bagi mayoritas masyarakat. Dalam konteks ekonomi makro, memperpendek (efisiensi) consumption-chain bukan menghasilkan untung tapi malah rugi, karena consumption-chain punya efek amplifier yang memberi keuntungan penciptaan lapangan kerja secara beribu-ribu kali lipat dibanding kerugian in-efisiensi-nya. Tidak masalah konsumen mendapat harga produk yang agak mahal, namun terkompensasi di sisi lain dengan penciptaan berjuta-juta lapangan kerja bagi mayoritas masyarakat. 2.4. Peranan rantai distribusi sebagai pembangun Sisi Pendapatan pada Rumus Kekal Ekonomi : Sisi Pendapatan (dari ketersediaan lapangan kerja) >= Sisi Pengeluaran (dari belanja). Di ekonomi berlaku Rumus Kekal Ekonomi : Sisi Pendapatan (nilai yang dihasilkan dari ketersediaan lapangan kerja) >= Sisi Pengeluaran (nilai yang dihasilkan dari belanja), di mana Sisi Pengeluaran perlu diimbangi dengan Sisi Pendapatan. Kalau tidak ada Sisi Pendapatan (tidak tersedia lapangan kerja), maka tidak akan ada pula Sisi Pengeluaran (tidak mampu belanja meski harga produk semurah apapun). Oleh karena itu, Sisi Pendapatan (ketersediaan lapangan kerja) perlu diadakan (meski secara sengaja), supaya dengan adanya Sisi Pendapatan maka bisa memenuhi Sisi Pengeluaran (manusia mampu belanja demi memenuhi kebutuhan hidupnya). Dan Sisi Pendapatan bisa diciptakan melalui menjaga eksistensi rantai distribusi yang menyediakan banyak lapangan kerja bagi masyarakat. Melalui menyediakan pendapatan bagi masyarakat (dari adanya ketersediaan lapangan kerja, salah satu caranya dengan menjaga eksistensi rantai distribusi), sebenarnya kita sedang membangun sisi demand (memperkuat daya beli masyarakat) yang akan mengalir ke sisi supply (produksi), sehingga akan terjadi keseimbangan antara sisi supply & sisi demand. Dalam konteks perusahaan, ketika perusahaan melakukan efisiensi ekstrim (misalnya dengan memutus rantai distribusi & melakukan direct-selling kepada konsumen), maka akan menyebabkan banyak lapangan kerja yang hilang & membuat masyarakat tidak punya pendapatan. Lalu siapakah yang akan membeli produk dari perusahaan tersebut kalau masyarakat tidak punya pendapatan ? Namun berbeda jika perusahaan berjalan dengan menjaga keseimbangan ekosistem ekonomi (misalnya dengan menjaga eksistensi rantai distribusi), sehingga menjaga ketersediaan banyak lapangan kerja & membuat masyarakat punya pendapatan, maka produk dari perusahaan tersebut akan berjalan karena masyarakat punya pendapatan untuk membelinya. Dengan kalimat lain, melalui perusahaan menjaga keseimbangan ekosistem ekonomi (menjaga ketersediaan lapangan kerja, salah satu caranya dengan menjaga eksistensi rantai distribusi), sebenarnya perusahaan sedang membangun market (konsumen) bagi produknya sendiri. 2.5. Rantai distribusi sebagai alat untuk mencapai kondisi ‘full-employment’ di ekonomi masyarakat sehingga memenuhi prinsip HAM di dunia ekonomi. Mayoritas teori-teori ekonomi yang ada selama ini tidak mengajarkan soal psikologis ekonomi (makna/arti/hakikat ekonomi berdasar sudut pandang manusia). Di realitas kehidupan masyarakat, ekonomi bukan bermakna soal prestasi pertumbuhan ekonomi negara, angka transaksi di akuntansi perusahaan, status sukses/kaya, ikut kemajuan jaman (modernisasi – nyaman – efisiensi), tapi ekonomi bermakna soal HAM (hak asasi manusia untuk mengakses kebutuhan primer (bertahan hidup) & kebutuhan sekunder (memperoleh kebutuhan lain yang diinginkan)). Penelaahan lebih jauh mengenai “Ekonomi bermakna HAM” : - Dalam konteks individu, setiap individu punya hak untuk mendapat pekerjaan (employment) supaya bisa mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Di sini bisa disimpulkan bahwa memenuhi hak setiap individu untuk mendapat pekerjaan di dunia ekonomi adalah sesuatu yang bersifat wajib (bukan bersifat opsional), demi memenuhi prinsip HAM di dunia ekonomi. - Dalam konteks masyarakat, pemerintah punya kewajiban untuk menyediakan pekerjaan bagi seluruh masyarakat tanpa kecuali, di mana pemerintah butuh melakukan rekayasa ekonomi (economy-engineering) demi mencapai target ‘full-employment’ pada ekonomi masyarakat (‘full-employment’ : kondisi di mana tersedia lapangan kerja yang affordable/terjangkau & seluas-luasnya – perlindungan kepada pihak lemah – pemerataan distribusi uang, bagi seluruh masyarakat). Sehingga dalam mengurus ekonomi masyarakat (yang bersifat social-oriented : menjaga hajat hidup di masyarakat umum, melalui mencapai target ‘full-employment’), pemerintah tidak bisa memakai sudut pandang ekonomi pribadi (yang bersifat profit-oriented : memenuhi keuntungan di ranah pribadi), karena sifat profit- oriented di ekonomi pribadi belum tentu selaras dengan sifat social-oriented di ekonomi masyarakat yang butuh mencapai target ‘full-employment’. Dan target ‘full-employment’ di ekonomi masyarakat bisa tercapai salah satu caranya melalui menjaga eksistensi rantai distribusi yang menyediakan sangat banyak lapangan kerja yang affordable/terjangkau bagi seluruh kalangan masyarakat. 2.6. Rantai distribusi menjadikan fondasi ekonomi dari suatu negara memiliki resilience (daya tahan) dalam menghadapi krisis ekonomi. Ibarat orang yang sedang berada di dalam jurang & mau memanjat keluar dari jurang. Kalau orang tersebut berlaku sederhana dengan tidak membelenggu dirinya dengan banyak beban, maka dia akan mudah untuk memanjat keluar dari jurang & memakan waktu yang cepat. Namun berbeda kalau orang tersebut berlaku rumit dengan membelenggu dirinya dengan banyak beban, maka dia akan kesulitan untuk memanjat keluar dari jurang & memakan waktu yang lama. Analogi ini berlaku ketika ekonomi sedang berada di kondisi krisis. Negara yang paling mudah & cepat keluar dari krisis ekonomi adalah negara yang sistem ekonominya sederhana (masyarakatnya mudah mendapat lapangan kerja & pendapatan, misalnya melalui menjaga eksistensi rantai distribusi), bukan negara yang sistem ekonominya rumit. Dan analogi ini juga berlaku ketika ekonomi sedang berada di kondisi normal. Di negara yang sistem ekonominya rumit, bahkan ketika ekonomi sedang berada di kondisi normal, maka masyarakatnya akan cenderung kesulitan mendapat lapangan kerja & pendapatan, sehingga kondisi ekonominya menjadi seakan-akan sedang berada di kondisi krisis (meskipun negara tersebut sedang berada di kondisi ekonomi normal). Sehingga kalau kita menginginkan ekonomi di suatu negara berjalan dengan lancar, termasuk mudah untuk keluar dari kondisi krisis ekonomi, maka kita perlu mendesain sistem ekonomi yang sederhana, dalam arti memudahkan bagi seluruh kalangan masyarakat untuk mendapat lapangan kerja & pendapatan. Dan salah satu caranya adalah dengan menjaga eksistensi rantai distribusi yang bersifat sederhana & efektif dalam menyediakan lapangan kerja yang affordable/terjangkau bagi seluruh kalangan masyarakat. Dengan kalimat lain, memelihara eksistensi rantai distribusi di dunia ekonomi merupakan jalan curang (cheat-code) untuk menggerakkan roda ekonomi di suatu negara secara mudah, karena sifat rantai distribusi yang memudahkan penyediaan lapangan kerja & pendapatan bagi seluruh kalangan masyarakat di suatu negara. Buktinya, Indonesia sudah mengalami beberapa krisis ekonomi di masa lampau (krisis ekonomi 1967 di akhir era Sukarno, krisis ekonomi 1998 di akhir era Suharto, krisis ekonomi 2008 di era SBY), tapi ekonominya selalu mampu melewati krisis ekonomi dengan mudah karena rantai distribusinya masih terjaga. Berbeda dengan di masa sekarang di mana rantai distribusi menjadi rusak akibat E-commerce, maka ketika terjadi krisis ekonomi, akan sulit juga untuk keluar dari krisis ekonomi akibat rusaknya rantai distribusi yang berperan memudahkan penyediaan lapangan kerja bagi seluruh kalangan masyarakat. 3. Sumber penyebab dari kehancuran ekonomi di hari ini adalah rusaknya rantai distribusi akibat E-commerce yang berjalan tanpa menjaga rantai distribusi. Sektor perdagangan (sektor rantai distribusi) menjadi sektor yang terabaikan oleh semua ekonom, padahal sektor perdagangan menduduki peringkat kedua (19%) dalam penyerapan tenaga kerja nasional, selain sektor pertanian di peringkat pertama (30%) & sektor manufaktur (sektor produsen) di peringkat ketiga (13%). Namun ironisnya, semua ekonom hanya sibuk bicara soal sektor manufaktur (sektor produsen), tapi tidak ada 1 pun ekonom yang pernah bicara soal sektor perdagangan (sektor rantai distribusi), padahal sektor perdagangan punya kontribusi penyerapan tenaga kerja yang jauh lebih besar dibanding sektor manufaktur. Sektor perdagangan bukan hanya memiliki 1 level (produsen > distributor > konsumen), tapi memiliki banyak level (produsen > grosir besar > grosir sedang > grosir kecil > eceran > konsumen). Karena kekeliruan konsep ekonomi yang dimiliki oleh para ekonom selama ini, yaitu kekeliruan pandangan bahwa : - sektor manufaktur lebih berkontribusi dalam menciptakan lapangan kerja dibanding sektor perdagangan, padahal dalam realitas terjadi sebaliknya. - sektor perdagangan hanya memiliki 1 level, padahal dalam realitas memiliki banyak level. Kekeliruan konsep ekonomi ini menyebabkan para ekonom tidak mampu mendiagnosa permasalahan ekonomi secara tepat sesuai dengan realitas lapangan di ekonomi masyarakat (mismatch diagnose-treatment-conclusion). Masalah perdagangan di hari ini adalah terjadi perpendekan panjang dari rantai distribusi akibat E-commerce : Dari yang semula : produsen > grosir besar > grosir sedang > grosir kecil > eceran > konsumen. Berubah menjadi : produsen > grosir besar > konsumen. (kehilangan level : grosir sedang, grosir kecil, eceran) Perpendekan panjang dari rantai distribusi akibat E-commerce ini seharusnya tidak boleh terjadi, karena menyebabkan rantai distribusi kehilangan fungsi amplifier-nya, di mana panjang dari rantai distribusi perlu cukup memadai (moderat) supaya fungsi amplifier-nya dapat berjalan. Perpendekan panjang dari rantai distribusi akibat E-commerce ini sebenarnya melanggar UU, karena ada UU yang melindungi eksistensi rantai distribusi (bertujuan untuk menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat) & mencegah persaingan usaha yang tidak sehat, melalui melarang bagi produsen berskala besar-menengah & pedagang grosir untuk menjual langsung ke konsumen : - Permendag Nomor 66 Tahun 2019 (Tentang Ketentuan Umum Distribusi Barang) > Pasal 6 Ayat 1 : “Distributor hanya dapat mendistribusikan Barang kepada Produsen, Sub Distributor, Grosir, Perkulakan dan/atau Pengecer.” > Pasal 19 Ayat 1 : “Distributor, Sub Distributor, Grosir, Perkulakan, Agen, dan Sub Agen dilarang mendistribusikan Barang secara eceran kepada Konsumen.” - Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021 (Tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan) > Pasal 34 : “Produsen wajib menunjuk Distributor atau Agen untuk mendistribusikan Barang kepada Pengecer.” > Pasal 58 Ayat 1 : “Produsen, Distributor, dan Grosir/Perkulakan dilarang mendistribusikan Barang secara eceran kepada Konsumen.” > Pasal 58 Ayat 2 : “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi : a. Produsen dengan skala Usaha Mikro dan/atau Usaha Kecil ; b. Produsen Barang yang mudah basi atau tidak tahan lebih lama dari 7 (tujuh) hari.” Yang berarti : Penjualan produk ke konsumen adalah hak pedagang ecer, bukan hak produsen & pedagang grosir. Larangan distribusi langsung ini berlaku bagi produk berkategori eceran massal (barang sehari-hari yang semua orang beli di warung → dilarang keras dijual langsung oleh produsen & pedagang grosir karena akan mematikan pedagang kecil), tapi tidak berlaku bagi produk berkategori non eceran massal (barang premium yang butuh edukasi dan dijual lewat agen resmi → diizinkan lewat sistem penjualan langsung berizin karena tidak mengganggu ekosistem warung). Perpendekan panjang dari rantai distribusi akibat E-commerce ini menyebabkan banyak sekali lapangan kerja yang hilang di masyarakat. Hal ini tidak terdeteksi di data ekonomi makro yang dimiliki pemerintah selama ini, karena data ekonomi makro hanya menunjukkan agregat total nilai perdagangan, tapi tidak menelusuri sampai sedalam apa agregat total nilai perdagangan tersebut mengalir di internal rantai distribusi yang memiliki banyak level. Ibarat di dunia tinju, ada petinju kelas ringan (55 kg) – menengah (75 kg) – berat (100 kg). Mustahil para petinju di semua kelas disatukan di 1 lingkungan kompetisi yang sama, karena pasti petinju kelas bawah akan tergilas dengan mudah oleh petinju kelas atas, misalnya petinju kelas ringan (55 kg) pasti akan kalah jika melawan petinju kelas berat (100 kg). Atau ibarat di dunia balapan motor Moto GP, ada motor kelas Moto 3 (mesin 250 cc) – Moto 2 (mesin 750 cc) – Moto GP (mesin 1.000 cc). Mustahil motor di semua kelas disatukan di 1 lingkungan kompetisi yang sama, karena pasti motor kelas bawah akan tergilas dengan mudah oleh motor kelas atas, misalnya motor kelas Moto 3 (mesin 250 cc) pasti akan kalah jika melawan motor kelas Moto GP (mesin 1.000 cc). Demikian juga berlaku bagi dunia dagang (rantai distribusi) yang memiliki banyak level (eceran – grosir kecil – grosir sedang – grosir besar – produsen), maka butuh regulasi yang mampu memisahkan persaingan dagang antar level yang berbeda (eceran vs eceran, grosir kecil vs grosir kecil, grosir sedang vs grosir sedang, grosir besar vs grosir besar, produsen vs produsen) supaya menciptakan lingkungan persaingan dagang yang adil bagi para pedagang di masing-masing level. Fakta yang terjadi di hari ini, mayoritas transaksi perdagangan hanya berjalan di level atas rantai distribusi (produsen & grosir besar) yang melakukan banting harga serendah-rendahnya melalui E-commerce, sedangkan di level bawah rantai distribusi (grosir sedang, grosir kecil, eceran) sangat sedikit mendapat kue perdagangan. Artinya, keseluruhan kue perdagangan hanya dinikmati oleh minoritas pedagang (di level atas rantai distribusi) & bukan dinikmati oleh mayoritas pedagang (di level bawah rantai distribusi) akibat terjadinya predatory-pricing di E- commerce (dalam bentuk “jual ecer pakai harga grosir”) karena ketiadaan regulasi di E-commerce. Juga, karena adanya fitur free-ongkir pada E-commerce, menyebabkan mayoritas belanja konsumen hanya mengalir ke kota-kota besar di pulau Jawa yang merupakan daerah pusat produksi (sehingga bisa menjual dengan harga termurah dibanding daerah-daerah lain yang bukan merupakan pusat produksi), sehingga peredaran uang bukan hanya mengalir secara tidak merata hanya di level atas rantai distribusi & menyebabkan kekeringan peredaran uang di level bawah rantai distribusi, tapi juga hanya terkumpul ke 1 titik di pulau Jawa & menyebabkan kekeringan peredaran uang di daerah-daerah lain. Kekeringan peredaran uang di level bawah rantai distribusi & di daerah-daerah lain (daerah-daerah di luar pulau Jawa, yang bukan merupakan pusat produksi) inilah yang menyebabkan ekonomi menjadi hancur sedahsyat yang kita alami di hari ini (daya beli sangat lemah, PHK di mana-mana, sulit mencari kerja). Bahkan pada seller-seller E-commerce yang sukses pun (seller-seller E-commerce di level atas rantai distribusi & di pulau Jawa yang merupakan pusat produksi) menjadi kesulitan uang akibat menjual dengan harga yang terlalu murah, sehingga mendapat margin untung yang sangat tipis & tidak mampu membiayai operasional usahanya (tidak mampu mempekerjakan banyak pegawai, tidak mampu menggaji pegawai dengan layak). Seller-seller E-commerce menganut prinsip dagang “untung tipis – kejar kuantitas”, di mana prinsip dagang ini sangat tidak sehat bagi perekonomian masyarakat, karena kuantitas belanja konsumen yang banyak tersebut seharusnya tersebar secara merata ke banyak pedagang, tapi akhirnya hanya dilahap semuanya oleh 1 pedagang yang menganut prinsip dagang “untung tipis – kejar kuantitas”. Sehingga 1 pedagang menjadi sukses di atas kematian dari ribuan pedagang-pedagang yang lain. Di perdagangan offline, juga terjadi kasus demikian (melakukan predatory-pricing dalam bentuk “jual ecer pakai harga grosir”, menganut prinsip dagang “untung tipis – kejar kuantitas”), tapi perdagangan offline memiliki hambatan alami berupa hambatan fisik, sehingga hambatan fisik inilah yang membatasi efek kerusakan dari cara dagang yang tidak sehat menjadi berskala daerah lokal saja. Berbeda dengan perdagangan E-commerce yang tidak memiliki hambatan, maka efek kerusakannya menjadi sangat besar & berdampak ke semua pihak tanpa batasan wilayah (berskala nasional). Jadi perdagangan E-commerce sangat berbeda dengan perdagangan offline, karena sifatnya yang bebas hambatan & transparan, sehingga kalau perdagangan E-commerce dibiarkan berjalan bebas tanpa regulasi yang adil, maka akan cenderung menyingkirkan pihak lemah & menghasilkan ketimpangan sosial yang sangat besar dibanding perdagangan offline yang punya hambatan fisik. Untuk itulah pemerintah butuh lebih serius memperhatikan kesehatan persaingan di perdagangan E-commerce dibanding di perdagangan offline, karena efek kerusakan yang ditimbulkan oleh perdagangan E-commerce (berskala nasional) jauh lebih besar dibanding perdagangan offline (berskala daerah lokal). Untuk keluar dari krisis ekonomi di hari ini, maka tidak ada jalan lain selain memulihkan kembali tatanan rantai distribusi yang rusak akibat E-commerce. Supaya dengan pulihnya tatanan rantai distribusi, maka tatanan rantai distribusi bisa menjalankan fungsi amplifier-nya & menyediakan banyak lapangan kerja bagi mayoritas masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah perlu Meregulasi E-commerce supaya E-commerce mampu berjalan dengan menjaga tatanan rantai distribusi. E-commerce & tatanan rantai distribusi perlu berjalan beriringan, bukan malah E- commerce berjalan dengan mematikan tatanan rantai distribusi. Sebab bagaimanapun, tatanan rantai distribusi dibutuhkan di dunia ekonomi karena memiliki fungsi sebagai amplifier atas penciptaan lapangan kerja yang affordable/terjangkau bagi seluruh kalangan masyarakat (termasuk bagi kalangan masyarakat lemah & menengah-bawah yang tidak memiliki modal uang & ilmu untuk berproduksi). Sehingga tatanan rantai distribusi perlu dijaga eksistensinya di dunia ekonomi meski di kondisi kemajuan jaman apapun, karena dari tatanan rantai distribusi inilah yang menopang penghidupan ekonomi bagi seluruh kalangan masyarakat, terutama bagi kalangan masyarakat lemah & menengah-bawah. Demikian juga berlaku bagi penjualan pulsa – paket data & tiket pesawat, sebenarnya tidak boleh terjadi penjualan langsung dari aplikasi ke konsumen, tapi butuh melalui perantaraan rantai distribusi (aplikasi/provider > grosir > eceran > konsumen), supaya punya efek pengganda terhadap penciptaan lapangan kerja di masyarakat (employment-multiplier). Andaipun bisa menjual langsung dari aplikasi ke konsumen, maka harga di aplikasi perlu lebih mahal daripada harga di level kios-kios eceran di masyarakat. Supaya dengan demikian, mendorong konsumen untuk mengutamakan berbelanja ke kios-kios eceran di masyarakat dibanding berbelanja langsung ke aplikasi. Karena kita butuh menciptakan semakin banyak lapangan kerja untuk menyeimbangkan dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah dari waktu ke waktu, sementara kemajuan teknologi cenderung melakukan efisiensi yang mengurangi lapangan kerja. Dan kalau kita serba mengikuti kemajuan teknologi secara ugal-ugalan tanpa mendasarkan pada kebijaksanaan, maka hasilnya ketersediaan lapangan kerja di masyarakat akan menjadi sangat sedikit & menyebabkan bencana ekonomi di masyarakat. Banyak orang yang tidak sadar bahwa dunia ekonomi adalah HAM, karena dari dunia ekonomi itulah manusia mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Dunia ekonomi bukan soal modernisasi (kemajuan teknologi) – efisiensi – kenyamanan – harga murah, tapi dunia ekonomi adalah soal hidup-matinya manusia. Sehingga kita tidak boleh sembarang memperlakukan dunia ekonomi, karena itu menyangkut nyawa manusia & hak asasi yang paling mendasar pada hidup manusia. Tidak semua orang terlahir cerdas – kreatif – kaya, tapi semua orang mutlak wajib terakomodasi di dunia ekonomi. Mau orang bodoh – tidak kreatif – miskin, mereka punya hak asasi untuk eksis di dunia ekonomi demi mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dan kalau dunia ekonomi menjadi lingkungan yang terlalu keras sehingga menyingkirkan mereka yang lemah, maka ini sama bobotnya dengan pembunuhan massal yang lebih buruk daripada kejahatan apapun. Oleh karena itu, dunia ekonomi tidak boleh menjadi lingkungan yang terlalu keras, tapi hanya boleh menjadi lingkungan yang moderat saja, supaya mampu mengakomodasi pihak lemah untuk eksis di dunia ekonomi & memenuhi prinsip HAM di dunia ekonomi. Mengurus ekonomi masyarakat (yang bersifat social-oriented) sangat berbeda dengan mengurus ekonomi pribadi (yang bersifat profit-oriented). Di ekonomi masyarakat, kita tidak mengutamakan soal keuntungan pribadi, tapi mengutamakan soal menjaga hajat hidup di masyarakat umum, sehingga meski tidak menguntungkan bagi ranah pribadi (tidak modern – tidak efisien – tidak nyaman – tidak murah) tetap perlu dijalankan demi menjaga hajat hidup di masyarakat umum. Konsep yang benar atas ekonomi masyarakat adalah Pasar Terkendali (kapitalisme terkendali / controlled- capitalism), bukan Pasar Bebas (kapitalisme murni / full-capitalism). Yang berarti di ekonomi masyarakat, kebebasan berekonomi dihargai namun wajib berada di dalam koridor kemasyarakatan, di mana setiap warga memiliki hak atas kebebasan berekonomi, namun di sisi lain perlu diimbangi dengan kewajiban untuk memperhatikan kebaikan di masyarakat umum (kebebasan yang bertanggung-jawab terhadap hajat hidup di masyarakat umum). Pemenuhan HAM dalam konteks ekonomi masyarakat, bisa diwujudkan melalui mencapai kondisi ‘full- employment’ (memastikan terwujudnya penyediaan lapangan kerja yang affordable/terjangkau & seluas-luasnya – perlindungan kepada pihak lemah – pemerataan distribusi uang, bagi seluruh masyarakat). Dan kondisi ‘full- employment’ pada ekonomi masyarakat bisa tercapai salah satunya melalui menjaga eksistensi rantai distribusi yang berfungsi menyediakan banyak lapangan kerja yang affordable/terjangkau bagi seluruh kalangan masyarakat. 4. Solusi supaya E-commerce berjalan dengan menjaga rantai distribusi. Solusi supaya E-commerce berjalan dengan menjaga rantai distribusi : i. Pemerintah membangun Sistem Price-Tier yang meniru tatanan rantai distribusi & menerapkannya ke E- commerce. Pemerintah membangun Sistem Price-Tier (database struktur harga jual terendah yang bertingkat berdasarkan kuantitas) yang meniru tatanan rantai distribusi & menerapkannya ke E-commerce, di mana harga dari produk- produk di E-commerce wajib mengikuti ketentuan harga di Sistem Price-Tier. ii. Melarang promo-diskon & mewajibkan biaya ongkir di E-commerce, supaya membuat tatanan rantai distribusi berjalan dengan baik. Harga di E-commerce tidak bisa diutak-atik menjadi di bawah dari ketentuan harga di Sistem Price-Tier (misalnya : melalui ‘bakar duit’ (memberi diskon cashback pada produk atau diskon pada biaya ongkir)), karena akan merusak tatanan rantai distribusi, sebab tatanan rantai distribusi sangat sensitif terhadap harga. Misalnya : o Ketika konsumen yang seharusnya diberikan harga di level konsumen tapi karena adanya diskon cashback pada produk, maka harga akhirnya menjadi sama dengan harga di level grosir besar, sehingga rantai distribusi yang ada di antaranya (grosir sedang - grosir kecil - eceran) menjadi mati. o Ketika konsumen yang seharusnya berbelanja di daerahnya tapi karena adanya diskon pada biaya ongkir, maka harga akhirnya menjadi lebih murah jika berbelanja di daerah lain (misalnya di daerah produksi) dibanding berbelanja di daerahnya, sehingga rantai distribusi di daerahnya menjadi mati. iii. Menjalankan fungsi KPPU untuk mengawasi jalannya poin i & poin ii di E-commerce. Menjalankan fungsi KPPU untuk mengawasi jalannya ‘Sistem Price-Tier + larangan promo & diskon + kewajiban biaya ongkir’ di E-commerce, supaya : o Membuat tatanan rantai distribusi berjalan dengan baik, melalui : memastikan ketentuan harga di Sistem Price-Tier ditaati oleh E-commerce. o Memenuhi asas persaingan usaha yang adil di dunia dagang, melalui : menjaga persaingan usaha yang adil antar daerah & antar level di internal rantai distribusi, antara offline vs online, maupun antara online vs online itu sendiri (misalnya : mencegah terjadinya Platform-Online yang tidak sanggup ‘bakar duit’ menjadi kalah bersaing dengan Platform-Online yang sanggup ‘bakar duit’). Pemenuhan terhadap asas persaingan usaha yang adil di dunia dagang menjadi sangat penting, supaya menghasilkan pemerataan distribusi uang (belanja konsumen) ke semua pedagang, yang akhirnya menciptakan pemerataan kesejahteraan di masyarakat. Di perdagangan offline juga terjadi persaingan tidak seimbang (predatory pricing dalam bentuk “jual ecer pakai harga grosir”), tapi efek kerusakan terhadap tatanan rantai distribusinya berskala daerah lokal, karena perdagangan offline punya hambatan fisik. Berbeda dengan perdagangan E-commerce yang bebas hambatan (tidak punya hambatan fisik), maka efek kerusakan terhadap tatanan rantai distribusinya berskala nasional. Inilah sebab pemerintah perlu lebih serius memperhatikan kesehatan persaingan di perdagangan E-commerce dibanding di perdagangan offline, karena efek merusak di perdagangan E-commerce (berskala nasional) jauh lebih besar dibanding di perdagangan offline (berskala daerah lokal). Selain itu, E-commerce juga perlu berjalan dengan memenuhi 4 parameter dari ekonomi yang sehat : 1. Ketersediaan lapangan kerja (proteksi industri dalam negeri & menjaga eksistensi rantai distribusi). 2. Pemerataan distribusi uang (proteksi segmen pedagang lemah, supaya bisa bersaing secara seimbang dengan segmen pedagang kuat, misalnya pedagang ecer vs grosir, da