D iscussion concept com pa nion manual. Find out more at http s://bem - s1.fe.unpad.ac.id PEPSI DISUCSSION MANUAL V ersion: 1 Verification Code : 512 KASTRAT - BEM KEMA FEB UNPAD Amerika Sudah Semi Resesi cnbcindonesia.com /market/20191004064410-17-104342/amerika-sudah-semi-resesi Jakarta, CNBC Indonesia - Credit Suisse, bank investasi dan manajemen investasi terkemuka di dunia menilai AS sudah memasuki semi-resesi. Hal ini terungkap pada sebuah catatan kepada klien yang diberikan Rabu (2/10/2019). "Sementara investor berdebat apakah kita memasuki resesi, kami percaya (dengan) latar belakang lebih baik (saat ini) digambarkan sebagai semi-resesi," kata Kepala Strategis Ekuitas di Credit Suisse AS Jonathan Golub sebagaimana ditulis CNBC International. Melemahnya manufaktur AS menjadi alasan. Di mana PMI manufaktur hanya 47,8 pada September, terendah sejak Juni 2009. Baca: Tabuh Genderang Perang dengan Eropa, Trump: Ini Menyenangkan Sebelumnya pada Agustus, PMI maufaktur berada di level 49,1. Angka di bawah 50 ini menandakan adanya kontraksi. Perang dagang antara AS dan China menjadi penyebab. Ketegangan kedua negara membuat ekonomi global melambat dan berdampak pada manufaktur AS. 1/2 Baca: Duet Maut Perang Dagang dan Resesi Masih Menghantui Padahal manufaktur menyumbang sekitar 11% dari ekonomi AS. Indeks ekspor baru juga turun hanya 41, terendah sejak Maret, setelah sebelumnya di angka 43,3 pada Agustus. Selain manufaktur yang lemah, inversi pada imbal hasil (yield) obligasi AS juga menjadi penyebab. Yield obligasi AS tenor 10 tahun lebih rendah dibanding yield pada obligasi AS seri 3 tahun. Ini, menurut Credit Suisse merupakan tanda resesi. "Risiko resesi jelasn meningkat," kata Golub. Meski demikian, ia mengatakan kemunculan resesi sedikit melemah dengan data pasar tenaga kerja as yang kuat. Diperkirakan pada laporan data pekerjaan AS September, akan ada 148.000 pekerjaan baru dan penurunan pada persentase pengangguran AS. Jumat (4/10/2019), investor tengah menunggu laporan bulanan pemerintah AS soal tenaga kerja. Analis memprediksi AS akan menambah 150.000 pekerjaan di bulan ini dengan akan pengangguran tetap di angka 3,7%. Sebelumnya, sejumlah analis menilai AS akan resesi di akhir 2020 atau 2021. Sejumlah survei menunjukkan, baik pebisnis, analis, maupun awam, percaya itu akan terjadi tahun depan. Organisation for Economic Cooperation and Development (EOCD) meramalkan pertumbuhan ekonomi AS hanya akan tumbuh hingga 2,4% di 2019 atau turun 0,4 poin dari prediksi di Mei lalu. Sebelumnya di 2018, pertumbuhan mencapai 2,9%. Pertumbuhan tahun 2020, diprediksi turun 0,3 poin atau menjadi 2,0%. Pertumbuhan ekonomi dunia juga diprediksi akan tumbuh 2,9% dari prediksi sebelumnya 3,2%. Pertumbuhan juga dipangkas tahun 2020 nanti. Dari sebelumnya 3,4% menjadi 3,0%. "Ini mungkin adalah pertumbuhan tahunan terendah sejak krisis finansial terjadi, dengan risiko penurunan terus meningkat," kata EOCD dikutip AFP. [Gambas:Video CNBC] (sef/sef) (sef/sef) 2/2 Sri Mulyani Bicara Waspada Resesi, Ini Strategi RI cnbcindonesia.com /news/20191205071422-4-120445/sri-mulyani-bicara-waspada-resesi-ini-strategi-ri/1 Jakarta, CNBC Indonesia - Didaulat sebagai The Best Minister 2019 oleh CNBC Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sampaikan pesan, ekonomi dunia sudah dekat dengan resesi. Pemerintah perlu waspada. Sri Mulyani mengatakan, tahun 2019 merupakan tahun yang sulit. Karena ketidakpastian global terus terjadi, membuat pertumbuhan ekonomi dunia menjadi lambat. "Lingkungan di mana kita berada masih tidak pasti. Kita sudah berharap adanya deal Amerika Serikat [AS]-RRT [Republik Rakyat Tiongkok/China]. Namun tiba-tiba ada perkembangan di Hong Kong, dan katanya agreement sama China nanti saja lah seusai Pemilu 2020," ujar Sri Mulyani dalam acara CNBC Indonesia Awards 2019 di Hotel Westin, Jakarta, Rabu (4/12/2019). "Kita dihadapkan kepada situasi berharap, kecewa, berharap, kecewa." Ketidakpastian tersebut menyebabkan kepercayaan diri dunia usaha menurun. Lebih parahnya, ketidakpastian terjadi dalam pola dan frekuensi yang tidak bisa ditebak. Yang pada akhirnya membuat forcast untuk perekonomian selalu meleset. "Hari ini kita percaya proyeksinya begini, besok bisa berubah sama sekali. Ini pemberat dari kemajuan ekonomi dunia," ujarnya. 1/2 Untuk diketahui, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi dunia hanya tumbuh 3% pada 2019. Lumayan jauh melambat dibandingkan 2018 yaitu 3,6%. "Kalau ekonomi dunia sudah [tumbuh] 3%, itu sudah dekat dengan resesi atau sudah resesi. Dunia terdiri dari negara maju dan berkembang, biasanya negara berkembang tumbuh lebih tinggi. Sekarang berarti sudah all across the board, berarti semua negara melemah," ungkap Sri Mulyani. Penurunan pertumbuhan ekonomi global 0,6%, demikian Sri Mulyani, tidak main-main. "Itu sama seperti size-nya Afrika Selatan, berarti satu ekonomi hilang," tuturnya. 2/2 Sri Mulyani Bicara Waspada Resesi, Ini Strategi RI cnbcindonesia.com /news/20191205071422-4-120445/sri-mulyani-bicara-waspada-resesi-ini-strategi-ri/2 Foto: Menteri Keuangan Sri Mulyani (CNBC Indonesia/Tri Susilo) Strategi Pemerintah Sri Mulyani menegaskan, perlambatan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara di Asia bisa mnejadi pembelajaran bagi Indonesia dalam mengelola risiko bersama di tengah tekanan global yang tinggi. Sri Mulyani dan menteri kabinet lain siapkan strategi khusus. Salah satu negara yang disoroti Sri Mulyani ialah India yang mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2019, bersamaan dengan negara-negara lain yang juga melambat. "Pada kuartal III-2019, India tumbuh hanya tumbuh 4,5%, ini penurunan tajam setelah dari 7%, lalu 6%, dan 4,5%," kata Sri Mulyani. Sri Mulyani pun siap untuk menggelontorkan berbagai insentif. Langkah tersebut ditempuh untuk menggenjot investasi dan pertumbuhan ekonomi. Salah satu yang dipersiapkan adalah insentif perpajakan. Karena menurut Sri Mulyani, kebijakan fiskal merupakan alat yang sangat menolong dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan. Di tengah komponen penawaran atau investasi yang tengah melemah. 1/2 Pada kuartal III-2019, investasi atau Penanaman Modal Tetap Bruto (PDB) hanya tumbuh 4,21% year-on-year. Jauh melambat ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 6,96%. "Pertumbuhan ekonomi memang di atas 5%, tetapi kita mesti mewaspadai investasi yang tumbuh di bawah 5%. Kita memberikan tax allowance, tax deduction, untuk meningkatkan competitiveness. Saya terus adjust kebijakan fiskal agar sesuai dengan tantangan yang kita hadapi," kata Sri Mulyani. Selain itu juga, lanjut dia dalam waktu dekat, pemerintah akan segera menyerahkan RUU Omnibus law kepada DPR. "Sering rapat di kabinet, di tempat wapres, makan siang-malam, dan menghilangkan halangan investasi. Ada 72 UU yang menghalangi dan di-address dalam omnibus law. Kemenkeu akan sampaikan omnibus law ke DPR pada Desember," ungkap Sri Mulyani. Omnibus law akan menjadi payung besar bagi puluhan undang-undang terkait investasi dan penciptaan lapangan kerja. Jadi nantinya investor tidak perlu pusing lagi membolak- balik buku undang-undang, cukup merujuk ke omnibus law. (sef/sef) 2/2 Terungkap, Ini Penyebab Resesi Ekonomi Global cnbcindonesia.com /market/20191011134205-17-106240/terungkap-ini-penyebab-resesi-ekonomi-global Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar mengejutkan kembali hadir di pasar keuangan dunia. Kali ini, Hong Kong, yang merupakan salah satu pusat keuangan dunia disebut-sebut mulai memasuki fase resesi. Sebagaimana ditulis Bloomberg, sejumlah data menunjukan bahwa di kuartal ketiga ini, negara itu terkonfirmasi mengalami resesi teknikal. Bahkan media ini menulis Hong Kong tengah masuk ke resesi pertamanya setelah krisis keuangan. Kota ini pun disebut cuma memiliki prospek perbaikan yang sangat minim karena demonstrasi berkepanjangan yang terus terjadi. Kontraksi ekonomi yang terjadi di kuartal II-2019 lalu, diperkirakan juga akan terjadi di kuartal ketiga ini. Sejumlah ekonom percaya, data-data yang ada masih menunjukkan penurunan. Sebelumnya, ekonomi Hong Kong diprediksi tumbuh 2-3% di 2019. Namun Agustus lalu, pertumbuhan dipangkas 0-1%. Banyak ekonom juga memperkirakan pertumbuhan bisa saja di bawah 1%. Bahkan dalam riset JP Morgan Chase & Co pertumbuhan ekonomi wilayah ini hanya 0,3%. "Saya tidak melihat adanya indikator yang kuat yang dapat mengubah situasi ini," kata ekonom Asia Pictet Wealth Management, Dong Chen. 1/3 Sebelumnya sinyal resesi juga sudah terdeteksi di negara dengan kekuatan ekonomi terbesar dunia, Amerika Serikat (AS). Demikian pula dengan Jerman dan Inggris yang juga sudah mengalami nasib serupa menyusul Turki yang sudah divonis lebih awal mengalami risiko. Hasil survei National Association for Business Economics (NABE) menyebutkan risiko resesi meningkat dan menjadi ancaman utama terhadap ekonomi dunia. Pemicunya adalah perang dagang yang dilancarkan pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. "Peningkatan proteksionisme, ketidakpastian kebijakan perdagangan yang meluas, dan pertumbuhan global yang lebih lambat dianggap sebagai risiko utama penurunan aktivitas ekonomi AS," kata ketua survei NABE, Gregory Daco, yang juga merupakan kepala ekonom di Oxford Economics AS. Mayoritas hasil survei yang dilakukan asosiasi para ekonom bisnis yang berbasis di Washington itu, memproyeksikan Bank Sentral AS atau The Federal Reserve tidak akan memangkas suku bunga lagi hingga 2019, sementara 40% dari kelompok itu mengatakan mereka memproyeksikan Fed setidaknya akan melakukan satu lagi penurunan suku bunga tahun ini. Hasil dari survei yang dilakukan pada minggu 9-16 September itu dirilis tepat ketika banyak analis melihat ada tanda-tanda peringatan dalam indikator ekonomi AS terbaru, termasuk penurunan aktivitas manufaktur ke level terendah 10-tahun pada bulan September dan pelambatan tajam dalam pertumbuhan di sektor industri jasa ke level terlemah sejak 2016. Laporan-laporan minggu lalu itu meningkatkan kekhawatiran bahwa ekonomi mungkin akan terjerat resesi. Sekitar 80% dari 54 ekonom NABE yang disurvei mengatakan ekonomi dunia berisiko melambat lebih lanjut, naik dari 60% pada Juni. Dalam survei terbaru mereka, panelis NABE mengatakan mereka memproyeksikan produk domestik bruto (PDB) nyata akan terus tumbuh pada tingkat rata-rata 2,3% tahun ini tetapi akan melambat menjadi 1,8% pada tahun 2020. Itu lebih lemah dari perkiraan terakhir kelompok ini pada Juni. Panel ini juga memperkirakan produksi industri melambat tajam dari 4% pada 2018 menjadi hanya 0,9% pada 2019. Itu merupakan revisi turun besar dari perkiraan sebelumnya 2,4% dalam survei Juni. Dan kelompok itu memproyeksikan laba perusahaan tumbuh hanya 1,7% tahun ini, turun tajam dari perkiraan 4,6% pada Juni. Pesimisme yang meningkat tentang laba perusahaan dan perlambatan ekonomi yang lebih luas telah mengguncang pasar saham. Pekan lalu, indeks utama Wall Street mengalami penurunan besar satu hari setelah data ketenagakerjaan dan manufaktur menunjukkan bahwa perang perdagangan AS-China semakin merugikan ekonomi AS. Hal ini diperparah keputusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Rabu lalu yang memberikan izin ke AS untuk mengenakan tarif impor pada barang Eropa senilai US$ 7,5 miliar. 2/3 Akibat hal ini, dalam survei NABE, sebanyak lebih dari setengah panel menyebut perdagangan sebagai risiko penurunan utama bagi perekonomian sampai 2020. Kekhawatiran tentang perlambatan telah tumbuh karena perang dagang dengan China menunjukkan tanda-tanda peningkatan dan semakin luas dampaknya. Perang dagang juga telah mengikis kepercayaan bisnis, mendorong perusahaan untuk menarik kembali investasi. Panelis NABE memperkirakan investasi bisnis akan terus melemah hingga tahun depan, dengan perkiraan investasi tetap nonresidensial naik 2,9% pada 2019 dan 2,1% pada 2020, lebih lemah daripada dalam survei kelompok pada Juni. Terlepas dari kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh perang dagang pemerintah Trump, para panelis NABE juga mengatakan tidak percaya kebijakan tersebut berhasil mengurangi defisit perdagangan AS. Mereka justru melihat defisit perdagangan melebar secara signifikan, dari US$ 920 miliar pada 2018 menjadi US$ 981 miliar pada 2019 dan menjadi US$ 1,022 triliun pada 2020. Para panelis menyebut penyebab utamanya adalah pertumbuhan ekspor yang lebih lambat, yang turun dari 3% pada 2018 menjadi 0,1% pada 2019. Angka itu merupakan penurunan besar dari perkiraan mereka pada bulan Juni untuk tahun 2019, di mana pertumbuhan ekspor diperkirakan 2,5%. Dan meski kelompok itu memproyeksikan ekonomi akan mempertahankan momentum untuk 12 bulan ke depan, namun peluang resesi diperkirakan akan meningkat tahun depan. Panelis memproyeksikan peluang resesi langsung tahun ini di hanya 7%, dan 24% dari mereka memproyeksikan resesi akan dimulai pada pertengahan 2020. Sementara untuk peluang resesi dimulai pada pertengahan 2021 adalah sebesar 69%. (hps/wed) (hps/wed) 3/3 BI Yakin Ekonomi Amerika Jauh Dari Resesi cnnindonesia.com /ekonomi/20190828113825-532-425318/bi-yakin-ekonomi-amerika-jauh-dari-resesi CNN Indonesia | Rabu, 28/08/2019 13:35 WIB Bagikan : BI yakin Amerika Serikat jauh dari resesi ekonomi. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan) Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia ( BI ) memperkirakan ekonomi Amerika Serikat ( AS ) masih jauh dari resesi . Ramalan dibuat dengan melihat kondisi ekonomi AS sampai saat ini. Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti memandang ekonomi AS sampai dengan saat ini masih cukup kuat. Pasalnya, ekonomi mereka masih bisa tumbuh 2,1 persen pada kuartal II 2019 kemarin. Sebagai gambaran, resesi ekonomi merupakan kondisi di mana perekonomian mengalami kontraksi selama dua kuartal berturut-turut. "Inflasi AS juga masih terkendali," ujarnya di Jakarta, Rabu (28/8). Menurut Destry, AS sudah belajar dari krisis keuangan 2008 yang diperparah oleh penurunan gelembung intrumen investasi kala itu. Saat ini, kondisi sudah berbeda dengan satu dekade lalu. "Bank-bank yang tadinya lebih agresif mengeluarkan produk yang bisa di- leverage dengan tinggi, seperti waktu itu dengan subprime mortgage , sekarang mereka sudah hati-hati," ujarnya. 1/2 Lihat juga: Sri Mulyani Akui Risiko Ekonomi Global Meningkat Meski demikian, BI tetap memperhatikan perkembangan ekonomi AS. Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, sebagian besar bank sentral di dunia saat ini, seperti BI memiliki kecenderungan kebijakan yang sama yaitu pelonggaran moneter dan ekspansi fiskal. Jadi, kalau pun terjadi resesi AS, Destry meyakini perekonomian Indonesia akan tahan. Keyakinan tersebut didasari oleh kekuatan pasar domestik Indonesia dengan potensi pengembangan UMKM yang besar serta kelas menengah yang terus tumbuh. "Satu hal yang membedakan kita (Indonesia) dengan negara-negara lain, taruh lah Singapura atau Malaysia, adalah ekonomi domestik kita kuat," ujarnya. Dalam hal ini, penopang terbesar perekonomian berasal dari konsumsi domestik yang memiliki porsi sekitar 50 persen. Sementara, peran ekspor dan impor masih relatif kecil, di bawah 20 persen. [Gambas:Video CNN] "Berbeda dengan Singapura yang kontribusi ekspor-impornya besar, kita tidak," jelasnya. Sebuah survei yang dirilis beberapa waktu lalu meramalkan ekonomi AS akan mengalami resesi. Survei dilakukan terhadap ekonom. Mayoritas ekonom memperkirakan ekonomi AS akan mengalami resesi. Dari 226 responden yang disurvei, 34 persen di antaranya mengatakan resesi akan terjadi pada 2021. Sementara itu, 38 persen lainnya memperkirakan resesi akan terjadi pada 2020. Hanya dua persen responden yang mengatakan resesi akan terjadi pada 2019 ini. Tapi survei tersebut dibantah Presiden AS Donald Trump. Ia bersikeras bahwa ekonomi AS sampai saat ini masih cukup kuat dan bagus. Lihat juga: Bantah Resesi, Trump Ingin Pangkas Pajak Profit Jual Aset (sfr/agt) Bagikan : 2/2 August 22, 2019 Betul Nggak Sih Ekonomi AS Sedang di Ambang Resesi? finance.detik.com /berita-ekonomi-bisnis/d-4676461/betul-nggak-sih-ekonomi-as-sedang-di-ambang- resesi Jakarta - Tanda peringatan berdenting soal kemungkinan resesi di Amerika Serikat (AS) pada 2020 mendatang. Kondisi ekonomi AS apakah bisa tumbuh atau terhenti bergantung pada daya beli masyarakat. Sejauh ini, daya beli masyarakat masih ada dalam level yang baik. Selain itu, tingkat pengangguran mendekati level terendahnya dalam 50 tahun terakhir diikuti upah yang kian membaik. Daya beli ini menyumbang 70% dari ekonomi AS. "Konsumen mengendalikan roda perekonomian," kata Kepala Ekonom Moody's Analytics Mark Zandi dikutip dari CNN , Kamis (22/8/2019). Zandi meyakini bahwa masyarakat tidak akan berhenti belanja. Sedangkan pengangguran saat ini hanya 3,7% atau berada di bawah 4% selama 17 bulan berturut- turut. Namun, jika angka pengangguran meningkat maka ini menjadi kekhawatiran baru. Baca juga: Gejolak Ekonomi Global yang Hantui Sri Mulyani Direktur Senior The Conference Board Lynn Franco mengatakan masyarakat masih optimistis terhadap data tenaga kerja AS. Hal ini membuat mereka masih yakin untuk terus belanja. 1/3 "Itu salah satu elemen belanja masyarakat," katanya. Namun, penyerapan tenaga kerja mengalami perlambatan pada kuartal ini dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Jika kinerja perusahaan menurun karena merekrut banyak karyawan, pengangguran bisa meningkat. Meskipun belanja masyarakat masih berjalan dengan baik, tapi ada hal yang perlu digarisbawahi. Penjualan mobil dan rumah yang menjadi barometer penting ini mengalami penurunan. Keduanya jatuh 2% pada semester I-2019 dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penurunan penjualan dua elemen ini menimbulkan dampak yang lumayan. Industri mobil adalah perusahaan besar, baik pabrik maupun dealer. Sedangkan penurunan penjualan rumah berdampak pada terbatasnya pada belanja barang seperti furnitur hingga cat dan karpet. "Perumahan berjalan jauh ke dalam ekonomi," ujar Zandi. Turbulensi yang terjadi belakangan ini di pasar saham juga dapat mempengaruhi kepercayaan pelaku pasar. Mereka yang tidak berinvestasi di pasar modal juga menyoroti hal ini karena menjadi bagian dari ekonomi suatu negara. Indeks kepercayaan konsumen juga tercatat mengalami penurunan berdasarkan laporan dari University of Michigan. Kehati-hatian ini bisa menjadi masalah pada ekonomi. "Dengan ketidakpastian ekonomi, konsumen mengurangi belanja pada item-item yang besar," ujar Franco. Baca juga: Sri Mulyani Bicara Peso Argentina yang Anjlok 15% Pasca Pemilu Pihaknya melihat terjadi penurunan pada pembelian mobil, rumah, dan peralatan lainnya. Namun, pada saat yang sama orang yang berencana berlibur dalam enam bulan ke depan naik 2% yang menandakan bahwa belanja tak serta-merta direm. Selanjutnya, data perjalanan menggunakan pesawat juga tercatat naik 4% di tengah harga tiket yang tinggi. Masyarakat juga tercatat lebih banyak makan di luar yang menandakan adanya pengalihan belanja. Peritel besar seperti Walmart dan Target telah melaporkan data penjualan yang tinggi. "Kondisi ekonomi pelanggan kami tetap solid," kata CFO Walmart Brett Biggs. Zandi mengatakan jika penjualan ritel melambat, hal itu berdampak pad apenutupan toko dan PHK yang meluas di ritel. 2/3 "Sektor ritel berada di ambang guncangan," ujarnya. Simak Video " Alami Kendala Usai Diblokir Amerika, Huawei Coba Berinovasi " [Gambas:Video 20detik] (ara/ang) 3/3 November 21, 2019 Indonesia Bisa 'Ketiban' Untung Jika Amerika Serikat Krisis Ekonomi indozone.id /news/vWsJga/indonesia-bisa-ketiban-untung-jika-amerika-serikat-krisis-ekonomi Ilustrasi inflasi. (Antaranews/Ardika) Kok bisa? Kamis, 21 November 2019 12:38 WIB INDOZONE.ID - Amerika Serikat (AS) diberitakan tengah diambang krisis ekonomi. Jika itu terjadi, Indonesia diyakini bisa meraup keuntungan, Kok bisa? Peneliti Makro Ekonomi dari Institut Development for Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan mengatakan, resesi ekonomi di negeri Paman Sam itu bisa memberikan ruang kepada Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan tingkat suku bunga acuannya. 1/2 "Saya pikir ada ruang, karena faktornya ada," ujar Abdul Manap ketika dihubungi Indozone , Kamis (21/11). Menurutnya, persoalan politik dan ekonomi di AS bakal memberikan tendensi kepada Indonesia. Salah satu yang paling dirasa adalah mengenal kebijakan The Fed (Bank Central Amerika) yang tentunya akan melonggarkan kebijakan moneternya. "Indikasi dari krisis AS itu antara lain adalah penurunan suku bunga di AS dan yield obligasi jangka panjang AS yang lebih rendah ketimbang yield obligasi jangka pendek," jelasnya. Selain itu, di sisi internal Indonesia sendiri, tingkat inflasi yang rendah serta suku bunga acuan yang terus menurun, dipercaya bakal menjadi stimulus tersendiri untuk 'mendongkrak' perekonomian. "Inflasi kita cukup rendah, jadi saya rasa dorongan untuk penurunan suku bunga itu terbuka," pungkasnya. Untuk diketahui, Bank Indonesia akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang diselenggarakan 20-21 November 2019. Salah satu bahasan adalah soal suku bunga acuan dan perkembangan situasi terkini perekonomian Indonesia dan gejolak di dunia. 2/2 Ekonom: 3 Negara Besar di Dunia Bisa Resesi dalam Waktu Dekat money.kompas.com /read/2019/10/04/122100426/ekonom--3-negara-besar-di-dunia-bisa-resesi-dalam- waktu-dekat JAKARTA, KOMPAS.com - Resesi ekonomi memang menjadi ancaman bagi perekonomian global . Sebab, ekonomi di negara-negara global, tak terkecuali di negara acuan perekonomian dunia tengah melesu hingga memasuki kuartal IV 2019. Tidak heran, banyak lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mengoreksi pertumbuhan ekonomi . Tidak hanya sekali, tapi silih berganti sejak dua kuartal belakangan. Proyeksi ketiga lembaga tersebut sepakat menurunkan proyeksi ekonomi. Dari rentang 2,9 persen hingga 3,3 persen menjadi 2,6 persen hingga 3,2 persen. "Seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi tersebut, kemungkinan akan ada resesi global dalam waktu dekat. Setidaknya tiga negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman menjadi sangat rentan terhadap kemungkinan resesi dalam waktu dekat," kata peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan dalam keterangan resmi, Jumat (4/10/2019). Pingkan mengatakan, perekonomian di benua biru juga tidak lolos dari kemungkinan resesi dalam waktu dekat. 1/2 Pasalnya, masih adanya tensi geopolitik antara Inggris dan Uni Eropa menjelang keputusan final Brexit yang akan ditetapkan pada 31 Oktober mendatang. Data Badan Statistik Nasional Inggris menyebut, Inggris dan Jerman masing-masing mengalami perlambatan ekonomi sepanjang tahun 2019. Memasuki kuartal III, Inggris stagnan dengan perlambatan 1,8 persen dibanding kuartal II 2019. Sedangkan di Jerman, Badan Statistik Nasional menyebut kontraksi ekonomi terjadi selama 9 bulan belakangan dengan pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2019 berada pada level 0,4 persen. Lain lagi dengan Amerika Serikat. Pingkan menyebut, negara adidaya itu masih melangsungkan perang dagang dengan China yang telah bergulir lebih dari satu tahun. Pun belum memperlihatkan tanda-tanda akan berakhir. Kendati demikian, dia tidak memungkiri dunia mesti menunggu kedua negara tersebut bertemu pada 10 Oktober 2019 mendatang. Kebijakan yang diambil dua negara, tentu akan sangat mempengaruhi proyeksi ekonomi ke depan. “Setidaknya kita masih harus menunggu hingga AS-China bertemu pada 10 Oktober mendatang, mengetahui perkembangan kebijakan yang akan diambil oleh Amerika dan China,” pungkasnya. 2/2 October 3, 2019 Awasi Kesiapan Finansial Anda Hadapi Resesi 2020 kompasiana.com /www.inatanaya.com/5d95cfd8712306149a042d43/awasi-kesiapan-finansial-anda- hadapi-resesi-2020 ilustrasi: Gambar oleh Ahmad Ardity dari Pixabay Perlambatan ekonomi sudah terlihat dengan jelas dengan adanya melambatnya proyeksi pertumbuhan ekonomi di 5 negara yang menjadi mesin penggerak perekonomian dunia seperti Amerika, Eropa, Jepang, Cina dan India. Secara global, pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 2019 sebesar 3,2 persen dan hanya meningkat terbatas menjadi 3,3 persen pada 2020. Sementara pertumbuhan ekonomi AS meningkat jadi 2,3 persen di tahun 2019 akan melambat 2,0 di tahun depan. 1/3